Kamis, April 16, 2009

PUKAU WARNA CAPUNG

MEMANG sudah merupakan anugerah Tuhan, capung adalah salah satu bangsa serangga yang memiliki keelokan warna-warni yang beragam dan memukau, selain kupu-kupu dan kepik. Keragaman warna ini bukan hanya pada capung besar, tetapi juga pada capung jarum. Dan kita berharap, mudah-mudahan keindahan warna-warni yang melengkapi khazanah alam flauna nusantara ini tidak menimbulkan bencana bagi kelestarian hidup capung itu sendiri, seperti halnya yang dialami oleh berbagai jenis kupu-kupu yang saat ini menghadapi ancaman eksploatasi yang serius.
Berikut ini ditampilkan foto-foto capung yang diambil dari pekarangan di samping rumah, seperti ini:

Foto-foto: Deidra Anaye F. - aisfamilyCONSERVE.org

Selasa, Maret 17, 2009

BUKAN KAWIN KONTRAK

BAGAIMANA mahluk hidup mengembangbiakkan dirinya, adalah hal yang umum dibicarakan, tetapi sampai hari ini masih sebagian besar merupakan misteri. Model yang dikenali ialah mereka melakukan perkawinan, yaitu hubungan reproduktif antara jantan dan betina, baik pada tumbuhan maupun hewan. Alat reproduksi pada setiap mahluk berbeda, meskipun proses pembuahan berjalan menurut prinsip-prinsip yang sama pada setiap mahluk. Di sini, sel sperma jantan bertemu dengan sel ovum pada betina, selanjutnya terbentuk bakal anak atau bakal buah.


Pada tumbuhan, proses perkawinan atau pembuahan biasanya tidak teramati secara jelas, karena umumnya yang dapat dilihat adalah hasil berupa telah terjadinya pembuahan, kecuali jika prose situ sendiri bersifat artifisial, dalam arti ada campur tangan manusia, seperti penyerbukan atau kawin-silang. Tetapi pada hewan, proses itu dapat diamati secara langsung, semacam proses mating, yang memperlihatkan gerakan dan reaksi-reaksi tertentu pada individu yang sedang kawin.


Beberapa species hewan juga agak sukar diamati, karena waktu atau tempat berlangsungnya proses kawin itu tidak umum, misalnya di tengah malam, di dalam lubang-lubang, atau berlangsungnya sangat cepat. Mungkin kelompok yang paling mudah diamati adalah serangga (insects dan arachnids), karena selain ada di mana-mana, juga sebagian besar lebih terbuka dan dapat berlangsung sepanjang waktu, bergantung jenisnya.


Kawin adalah proses biologis yang mutlak bagi setiap mahluk hidup, untuk dapat mempertahankan kelanjutan hidup jenisnya. Sebagian mahluk hidup memiliki intensitas kawin yang tinggi, sebagian lagi intensitasnya jarang atau rendah. Jenis-jenis yang tinggi intensitas kawinnya, secara biologis dan ekologis adalah jenis-jenis yang mendapatkan tekanan tinggi, misalnya karena predasi, sehingga populasinya mudah terancam habis atau punah. Untuk tetap mempertahankan keberadaan jenisnya, terhindar dari kepunahan, mereka harus melakukan aktivitas reproduksi yang tinggi, dalam arti aktivitas kawin yang tinggi atau turunan (anak-anak atau buahnya) yang dihasilkan dalam jumlah besar. Beberapa jenis serangga, yang selalu merasa terancam oleh predator, yang menjadi sumber makanan dalam rantai makanan, akan beradaptasi untuk menjadi jenis yang memiliki kemampuan reproduksi tinggi.


Ketersediaan sumber makanan juga sangat berpengaruh pada pola reproduksi. Jenis-jenis hewan misalnya memiliki naluri untuk mengatur batas populasi jenisnya agar seimbang dengan batas daya dukung relung habitat yang mereka huni. Populasi jenis yang terlalu besar, yang tidak diimbangi dengan ketersediaan ruang dan sumber makanan yang cukup, akan mengarahkan jenis tersebut ke kemerosotan jumlah atau kepunahan. Tetapi ledakan sebuah populasi, tidak semata-mata disebabkan oleh tingginya reproduksi, melainkan dapat juga disebabkan oleh rendahnya komponen pengontrol seperti pemangsa, yang biasanya terjadi karena kerusakan keseimbangan ekologis.


Jadi, perkawinan pada setiap mahluk hidup, merupakan aktivitas biologis yang mutlak, dan mereka juga pada umumnya memiliki kemampuan untuk mengatur proses dan hasil dari perkawinan itu. Tidak seperti manusia, meskipun memiliki pengetahuan tentang daya dukung lingkungan, namun ternyata ber-KB juga gagal di mana-mana. Dan pada hewan atau tumbuhan, tidak dikenal adanya “kawin kotrak”. (ais)

Senin, Maret 16, 2009

PENCINTA BATU

SEBAGAIMANA diketahui tidak ada satu pun relung (niche) dalam ekosistem yang tidak termanfaatkan oleh satu atau beberapa jenis kehidupan, satwa atau tumbuhan. Bahkan penelitian menunjukkan, di lava gunung berapi pun, yang merupakan kondisi yang sangat ekstrem, dapat ditemukan kehidupan. Di kutub yang dingin membeku, yang merupakan kebalikan dari lava dan gurun pasir, juga dipenuhi oleh kehidupan. Demikian juga di dasar laut dalam, palung dan lubuk yang gelap gulita, yang jutaan tahun tak tersentuh cahaya matahari, ternyata ditemukan adanya mahluk hidup dengan perikehidupan yang kompleks. Di sini, adaptasi merupakan kunci keberhasilan setiap mahluk hidup untuk menghuni sebuah relung tempat mereka harus bertahan.


Di dalam biosfer, banyak kondisi habitat yang oleh manusia dinilai sangat ekstrem, seperti gurun pasir, daerah kutub, zona alpine, dan laut dalam. Namun demikian, tipe-tipe habitat seperti itu, memiliki struktur dan komponen pendukung kehidupan yang sama lengkapnya dengan habitat lainnya. Mungkin perbedaan hanya pada masalah jumlah ragam kehidupan yang menghuninya, atau karena rendahnya tingkat interaksi antara manusia dengan habitat yang ekstrem itu.


Dalam skala kecil, tipe-tipe habitat yang ekstrem itu dapat ditemukan sebagai relung pada setiap tipe ekosistem, misalnya ekosistem daerah aliran sungai, ditemukan pada tumpukan bebatuan, hamparan lumpur (mudflats), dan tebing-tebing yang terus-menerus tergerus oleh air. Sepintas, pada relung seperti itu, sangat sukar ditemukan adanya kehidupan, karena tingkat ketergangguannya yang besar atau karena ketersediaan produsen yang rendah.


Jika kita berjalan-jalan di tepi sungai, terutama sungai yang berbatu-batu, kita dapat melihat sepintas bahwa komponen abiotik seperti batu-batu itu hampir tidak memiliki peran dan fungsi di dalam bangun ekosistem, khsususnya dalam bentuk kemanfaatan bagi komponen biotik. Tapi kenyataannya tidak demikian, karena di sela-sela, di bawah, dan di permukaan batu-batu itu, ada cukup banyak mahluk hidup yang menggantungkan hidupnya.


Sebagai komponen abiotik, memang batu itu bukan sumber produsen, yang menyediakan makanan bagi hewan. Tetapi batu-batu itu tidak kecil perannya sebagai media dalam tumbuhnya beberapa jamur dan ganggang, yang kemudian memancing berbagai jazad renik (microorganism), yang menjadi bagian paling mendasar dalam sebuah ekosistem. Keberadaan jamur, ganggang, dan jazad renik menjadi sumber makanan bagi beberapa jenis serangga, dan serangga akan menjadi sumber makanan bagi jenis satwa yang lebih besar. Batu-batu itu pada akhirnya memiliki peran sentral dalam rantai makanan, yaitu sebagai media antara, dan karena itu fungsinya menjadi sangat penting.


Keberadaan batu juga menjadi penting dikaitkan dengan perlunya para serangga dan lainnya memiliki tempat berlindung, tempat beristirahat dan sebagian menjadikannya tempat untuk bertelur. Batu pada tebing sungai, memiliki kemampuan untuk membangun kelembaban, serta menahan berbagai seresah hutan yang hanyut, yang kemudian mengalami dekomposisi, dan menjadi sumber makanan langsung atau sebagai media tumbuh. Kondisi ini menjadikan batu sebagai relung yang lengkap, menurut ukuran serangga yang menghuninya, terutama terkait dengan tingkat kebutuhan dan keamanannya.


Melalui adaptasi sesuai dengan perkembangan lingkungan, batu menjadi alat pembangun warna samaran (mimicry) bagi serangga-serangga dan hewan lainnya. Karena itu, warna hewan-hewan yang menghuni bebatuan itu sangat serasi dengan warna permukaan batu-batuan, dan menjadi model penyamaran yang efektif. Umumnya serangga-serangga berwarna coklat, coklat-kehitaman, berbintik-bintik, serta kebiruan kabur. Ini sangat bermanfaat bagi serangga-serangga itu untuk menghindarkan diri dari pemangsa. Jika tidak benar-benar diperhatikan, cukup sukar untuk mengetahui keberadaan mereka di antara batu-batu itu.




Jenis-jenis serangga yang dapat ditemukan menghuni relung berupa tumpukan bebatuan sungai, umumnya berupa beberapa jenis kepik, lalat, belalang, capung, laba-laba, dan nyamuk; kemudian beberapa jenis dari Ordo Hymenoptera, yang lebih merupakan serangga tamu di bebatuan. Juga dapat ditemukan beberapa jenis kupu-kupu, tetapi juga sebagai serangga tamu, yang datang hanya untuk menghisap garam-garaman. Dari kekerabatan lain, dapat ditemukan luwing atau kaki-seribu, dan sebagai konsumen paling dominan adalah katak, tikus, burung dan ular.


Pada beberapa batuan yang kebetulan memperoleh kelembaban yang tinggi, misalnya karena ternaungi oleh pohon, tampak sangat subur ditumbuhi oleh berbagai lumut, dan pakis. Keberadaan lumut, dan terutama pakis yang sudah merupakan tumbuhan tingkat tinggi, membentuk ekosistem bebatuan yang lebih permanen, dan melengkapkan kehadiran produsen dan konsumen ke dalam sebuah simbiose yang serasi. Karena peranan produsen dalam bentuk ganggang, beberapa jenis dekomposer, dan mikroorganisme lain, maka di tempat itu akan terbangun sebuah pola ekologis yang kompleks. Jaring-jaring makanan akan terbentuk dan berjalan sesuai siklus yang berlaku untuk relung tersebut.




Jadi, kita dapat melihat dan mempelajari bagaimana setiap mahluk menyesuaikan diri agar dapat bertahan pada tipe habitat, khususnya menghuni relung, yang dianggap paling sesuai baginya. Tidak ada satu pun relung di bumi ini yang tidak memiliki daya tarik, termasuk di tumpukan bebatuan tebing sungai. Di sana, banyak hewan yang benar-benar pencinta batu. (ais)

Minggu, Maret 15, 2009

CAPUNG MONSTER

SEMUA orang pasti tahu dan kenal serangga yang bernama capung, yang oleh orang lain disebut sebagai “naga terbang” (dragonfly). Berjalanlah ke tepi hutan, padang rumput, tepi rawa, tepi jalan, hutan sekunder, bahkan pekarangan rumah, atau di mana saja, hampir selalu ditemukan adanya capung. Tetapi dari segi habitat, umumnya pada tempat-tempat yang tidak jauh dari genangan air, karena di sanalah mereka melatakkan telur-telurnya, yang akan menetas jadi nimfa (nympha) setelah 6 – 40 hari, bergantung jenisnya, dan seterusnya jadi capung dewasa. Seekor capung, dalam satu tahap masa peteluran, si betina dapat meletakkan 50 – 400 butir telur, bahkan ada species yang dapat bertelur sampai 1.000 butir.

Di dunia ini, jumlah jenis capung yang tergabung dalam Ordo Odonata, lumayan banyak, diperkirakan sekitar 5.000 species, dan di Indonesia sendiri lebih dari 900 species. Dari rekaman fosil capung yang ditemukan, dari zaman karbon, misalnya dari marga Meganeura, diketahui bahwa di bumi ini pernah hidup capung purba yang rentang-sayapnya mencapai 120 cm. Di Indonesia, capung dapat ditemukan dengan ukuran yang cukup besar, yaitu panjangnya 10-12 cm, dari species Anax maclachlani, sedangkan jenis yang kecil panjang badannya hanya sekitar 1,5 cm, yaitu species Agriocnemis minima, Agriocnemis pygmaea.

Kelompok capung, di Indonesia, hanya ada beberapa yang sangat umum dikenali karakternya melalui familinya, yaitu capung berperut gembung (famili Gomphidae), karena di ujung perutnya, ada bagian yang membengkak atau menggembung. Berikutnya, capung bermata besar (famili Aeshnidae), karena memang ukuran matanya yang besar dan mencolok. Kemudian capung luncur (famili Libellulidae), yang selalu bergerak dan menyambar-nyambar. Lalu capung jarum (Famili Coenagrionidae), karena memang perutnya panjang kurus seperti jarum. Keempat famili inilah yang paling sering terlihat secara keseharian, tapi selain itu, di Indonesia masih terdapat capung-capung lain dari famili-famili Calopterygidae, Petaluridae, Macromiidae, Corduliidae, dan sebagainya.

Dalam pengelompokan capung, salah satu ciri capung yang dikenal secara umum ialah memiliki sayap dua pasang, atau empat lembar, yang bentuknya memanjang, tembus pandang dan menampakkan jala-jala urat yang banyak, yang sepintas seperti jaring (membranaceus). Mata majemuknya, yang besar, dapat dikatakan menutupi seluruh kepala. Antenanya sangat kecil, tetapi perutnya (abdomen) panjang dan tipis. Dari tipe mulutnya yang tampak, dapat diketahui bahwa capung memiliki model gigi pemotong dan pencabik.

Apabila diperhatikan tampilan capung, yang sering kita temukan, terdapat dua bentuk yang berbeda, yaitu capung besar dan capung jarum. Capung besar ditandai dengan ukuran yang memang lebih besar, tetapi sayap depan dengan sayap belakangnya tidak sama besar, dan pada saat hinggap di suatu tempat, keadaan sayap tetap terentang ke samping dalam posisi tegak lurus dengan badannya. Pada nimfa, yang hidup di dalam air, insangnya terdapat di dalam rongga rektum. Ini merupakan ciri umum untuk semua capung dalam Subordo Anisopetara.

Berbeda dengan capung besar, bentuk dan ukuran sayap pada capung jarum, ditandai oleh sayap depan dan sayap belakang yang sama besar, dan ketika hinggap, sayap-sayapnya tidak terentang, tetapi terlipat ke belakang sejajar perutnya. Pada nimfa, insangnya bukan di dalam rongga rektum, melainkan di ujung abdomen, dalam bentuk tiga lembar organ pernafasan, dengan letak persis seperti bilah-kipas baling-baling kapal. Ini merupakan ciri umum dari Subordo Zygoptera.

Capung adalah monster, bukan hanya pada tampilannya yang keren dengan wajah terkesan menakutkan, melainkan juga sejak masih sebagai nimfa yang hidup di dalam air, mereka sudah ganas mengganyang serangga air, larva, dan anak ikan. Setelah dewasa pun, capung akan tetap memangsa sesama serangga, terutama nyamuk, ngegat, agas dan sebagainya. Sebagai serangga yang ditakdirkan menjadi karnivorous sejati, maka dia memiliki mata yang berukuran besar dengan kemampuan jangkauan pandang ke semua arah, karena kepalanya dapat memutar 360°.

Gerakan capung juga istimewa, dengan sayap yang kaku, tipis dan ringan, capung dapat melakukan gerakan akrobatik yang memukau, dapat langsung berbelok-arah pada posisi kurang dari 90°. Kaki dan cakarnya kuat, mampu memegang mangsanya dengan baik, yang disambar ketika sedang terbang, dan langsung membawa mangsa tersebut ke mulutnya. Capung dapat makan sambil terbang.

Mengamati capung merupakan kegiatan yang menarik, karena perilakunya yang aktif, dan terutama warna-warninya yang cukup bervariasi. Dari ratusan jenis capung yang ada di Indonesia, memang ada beberapa yang paling umum dijumpai, terutama capung yang menyenangi rerumputan dan bertengger di tanaman-tanaman hias kolam di samping rumah. Ada beberapa species yang kemunculannya di suatu tempat bersifat musiman, dengan jumlah ratusan dan bahkan ribuan, beterbangan dan berzig-zag di udara, sambil mencari mangsa.

Ketika kecil, jika seorang anak terlalu sering pipis, bahkan pun ketika dia telah berusia 6-7 tahun, masih pipis di tempat tidur, umumnya tradisi mengajarkan agar segera ditangkap seekor capung besar (dalam bahasa Bugis: jurujuru lambatong), dan capung tersebut diupayakan menggigit pusar si anak. Tapi terlepas dari soal kebiasaan pipis tersebut, perhatikan saja sang lambatong itu dengan seksama. Mereka adalah monster, yang agresif, ganas, tetapi menarik dan harus dilestarikan.(ais)