SEBAGAIMANA diketahui tidak ada satu pun relung (niche) dalam ekosistem yang tidak termanfaatkan oleh satu atau beberapa jenis kehidupan, satwa atau tumbuhan. Bahkan penelitian menunjukkan, di lava gunung berapi pun, yang merupakan kondisi yang sangat ekstrem, dapat ditemukan kehidupan. Di kutub yang dingin membeku, yang merupakan kebalikan dari lava dan gurun pasir, juga dipenuhi oleh kehidupan. Demikian juga di dasar laut dalam, palung dan lubuk yang gelap gulita, yang jutaan tahun tak tersentuh cahaya matahari, ternyata ditemukan adanya mahluk hidup dengan perikehidupan yang kompleks. Di sini, adaptasi merupakan kunci keberhasilan setiap mahluk hidup untuk menghuni sebuah relung tempat mereka harus bertahan.
Di dalam biosfer, banyak kondisi habitat yang oleh manusia dinilai sangat ekstrem, seperti gurun pasir, daerah kutub, zona alpine, dan laut dalam. Namun demikian, tipe-tipe habitat seperti itu, memiliki struktur dan komponen pendukung kehidupan yang sama lengkapnya dengan habitat lainnya. Mungkin perbedaan hanya pada masalah jumlah ragam kehidupan yang menghuninya, atau karena rendahnya tingkat interaksi antara manusia dengan habitat yang ekstrem itu.
Dalam skala kecil, tipe-tipe habitat yang ekstrem itu dapat ditemukan sebagai relung pada setiap tipe ekosistem, misalnya ekosistem daerah aliran sungai, ditemukan pada tumpukan bebatuan, hamparan lumpur (mudflats), dan tebing-tebing yang terus-menerus tergerus oleh air. Sepintas, pada relung seperti itu, sangat sukar ditemukan adanya kehidupan, karena tingkat ketergangguannya yang besar atau karena ketersediaan produsen yang rendah.
Jika kita berjalan-jalan di tepi sungai, terutama sungai yang berbatu-batu, kita dapat melihat sepintas bahwa komponen abiotik seperti batu-batu itu hampir tidak memiliki peran dan fungsi di dalam bangun ekosistem, khsususnya dalam bentuk kemanfaatan bagi komponen biotik. Tapi kenyataannya tidak demikian, karena di sela-sela, di bawah, dan di permukaan batu-batu itu, ada cukup banyak mahluk hidup yang menggantungkan hidupnya.
Sebagai komponen abiotik, memang batu itu bukan sumber produsen, yang menyediakan makanan bagi hewan. Tetapi batu-batu itu tidak kecil perannya sebagai media dalam tumbuhnya beberapa jamur dan ganggang, yang kemudian memancing berbagai jazad renik (microorganism), yang menjadi bagian paling mendasar dalam sebuah ekosistem. Keberadaan jamur, ganggang, dan jazad renik menjadi sumber makanan bagi beberapa jenis serangga, dan serangga akan menjadi sumber makanan bagi jenis satwa yang lebih besar. Batu-batu itu pada akhirnya memiliki peran sentral dalam rantai makanan, yaitu sebagai media antara, dan karena itu fungsinya menjadi sangat penting.
Keberadaan batu juga menjadi penting dikaitkan dengan perlunya para serangga dan lainnya memiliki tempat berlindung, tempat beristirahat dan sebagian menjadikannya tempat untuk bertelur. Batu pada tebing sungai, memiliki kemampuan untuk membangun kelembaban, serta menahan berbagai seresah hutan yang hanyut, yang kemudian mengalami dekomposisi, dan menjadi sumber makanan langsung atau sebagai media tumbuh. Kondisi ini menjadikan batu sebagai relung yang lengkap, menurut ukuran serangga yang menghuninya, terutama terkait dengan tingkat kebutuhan dan keamanannya.
Melalui adaptasi sesuai dengan perkembangan lingkungan, batu menjadi alat pembangun warna samaran (mimicry) bagi serangga-serangga dan hewan lainnya. Karena itu, warna hewan-hewan yang menghuni bebatuan itu sangat serasi dengan warna permukaan batu-batuan, dan menjadi model penyamaran yang efektif. Umumnya serangga-serangga berwarna coklat, coklat-kehitaman, berbintik-bintik, serta kebiruan kabur. Ini sangat bermanfaat bagi serangga-serangga itu untuk menghindarkan diri dari pemangsa. Jika tidak benar-benar diperhatikan, cukup sukar untuk mengetahui keberadaan mereka di antara batu-batu itu.
Jenis-jenis serangga yang dapat ditemukan menghuni relung berupa tumpukan bebatuan sungai, umumnya berupa beberapa jenis kepik, lalat, belalang, capung, laba-laba, dan nyamuk; kemudian beberapa jenis dari Ordo Hymenoptera, yang lebih merupakan serangga tamu di bebatuan. Juga dapat ditemukan beberapa jenis kupu-kupu, tetapi juga sebagai serangga tamu, yang datang hanya untuk menghisap garam-garaman. Dari kekerabatan lain, dapat ditemukan luwing atau kaki-seribu, dan sebagai konsumen paling dominan adalah katak, tikus, burung dan ular.
Pada beberapa batuan yang kebetulan memperoleh kelembaban yang tinggi, misalnya karena ternaungi oleh pohon, tampak sangat subur ditumbuhi oleh berbagai lumut, dan pakis. Keberadaan lumut, dan terutama pakis yang sudah merupakan tumbuhan tingkat tinggi, membentuk ekosistem bebatuan yang lebih permanen, dan melengkapkan kehadiran produsen dan konsumen ke dalam sebuah simbiose yang serasi. Karena peranan produsen dalam bentuk ganggang, beberapa jenis dekomposer, dan mikroorganisme lain, maka di tempat itu akan terbangun sebuah pola ekologis yang kompleks. Jaring-jaring makanan akan terbentuk dan berjalan sesuai siklus yang berlaku untuk relung tersebut.
Jadi, kita dapat melihat dan mempelajari bagaimana setiap mahluk menyesuaikan diri agar dapat bertahan pada tipe habitat, khususnya menghuni relung, yang dianggap paling sesuai baginya. Tidak ada satu pun relung di bumi ini yang tidak memiliki daya tarik, termasuk di tumpukan bebatuan tebing sungai. Di sana, banyak hewan yang benar-benar pencinta batu. (ais)