Senin, Februari 23, 2009

ALAM & KONSERVASI

INDONESIA adalah sebuah negara yang dianugerahi kekayaan hayati yang sebenarnya sangat luar biasa, bahkan termasuk sebagai megacentre keragaman hayati di dunia, dari tiga negara yang boleh kita sebut, yaitu Brasil di benua Amerika, Zaire dan sekitarnya di benua Afrika, dan Indonesia sendiri di lempeng benua Asia. Kekayaan hayati, dengan tingkat keragaman yang sangat tinggi ini bukanlah sebuah kebetulan, melainkan sesuatu yang secara biogeografi memang muncul akibat letak Indonesia pada bentang benua yang sekaligus menggambarkan tiga wilayah raksasa dengan keragaman genetika, yaitu di barat dengan Kawasan Indomalaya yang dipengaruhi oleh Asia, di timur dengan Kawasan Australopapua, dan di tengah, yang dipisahkan oleh garis Wallacea dan garis Weber, Sulawesi dan jajarannya menjadi terpisah dengan karakteristik keterwakilan Asia, Australia, dan Afrika.


Sumberdaya hayati merupakan subtan penting dalam kelangsungan hidup manusia, bahkan kelangsungan hidup sebuah bangsa. Karena itu, sumberdaya hayati, yang terdiri atas kekayaan flora dan fauna, merupakan subtan penyangga utama bagi eksisnya sebuah peradaban. Trend saat ini menunjukkan bahwa di masa depan, sejalan dengan perkembangan teknologi, kita akan terjebak apabila beranggapan bahwa yang akan terjadi adalah persaingan antarbangsa dengan mengandalkan kekuatan politik dan militer. Perang di masa depan, bukanlah perang nuklir, dengan misil-misil yang merentas angkasa, melainkan yang akan terjadi adalah perang sumberdaya alam, khususnya sumberdaya genetika.


Sejarah berabad-abad mencatat bahwa kehancuran sebuah bangsa, tidak semata-mata karena faktor politik dan militerisme, melainkan juga terutama disebabkan oleh kehancuran lingkungan, yang di dalamnya mencakup kepunahan berbagai sumberdaya genetika. Proses desertifikasi, yang apabila dikaji secara cermat terutama disebabkan oleh pertimbangan ekonomi, sudah sejak lama menjadi ancaman; demikian pula kehancuran ekosistem pesisir dan laut. Sistem politik egosentris, merupakan pemicu bagi timbulnya kehancuran lingkungan, belum lagi akibat tekanan kemiskinan jutaan rakyat yang harus makan, industrialisasi yang tidak diimbangi dengan ecopolicy yang cermat, serta pengaruh konsumerisme yang meledak-ledak. Pada tahun 2020, diperkirakan kehancuran lingkungan akan mencapai lebih setengah dari kondisi lingkungan yang masih baik sekarang ini, dan jumlah bencana akan semakin meningkat, mulai dari global warming sampai pada hilangnya cadangan sumberdaya untuk pakan dan sandang. Masa depan, dan generasi berikutnya, dipertaruhkan.


Bagi bangsa Indonesia, lingkungan telah menjadi komitmen utama dalam pertimbangan pembangunan, yang ditandai dengan cukup konsistennya pengambil kebijakan untuk menempatkan masalah lingkungan di dalam dokumen-dokumen perencanaan pembangunan. Masalahnya, kita masih seringkali terjebak ke dalam perlambang dan simbolisasi, implementasi secara seremonial masih sangat dominan dibandingkan praktik-praktik yang bersifat melembaga dan memiliki kontinuitas, yang permanen. Kita selalu terlambat, dan sadar setelah bencana di depan hidung.
Kekayaan hayati Indonesia saat ini mengalami ancaman yang serius, dan harus diakui memang belum diimbangi dengan upaya penyelamatan yang sebanding. Upaya-upaya konservasi selalu tenggelam oleh sangat kuatnya upaya-upaya eksploatasi, yang dinilai lebih menguntungkan. Dengan alasan untuk kepentingan umum, demi kepentingan masyarakat, demi kepetingan orang banyak, maka sebuah ekosistem dan tatanan kehidupan plasmanutfah dapat dihancurkan seketika. Ekonomi, yang hanya bertaut sedikit dengan ekologi, adalah alasan utama untuk mengeksploatasi sumberdaya dan lingkungan alam. Lingkungan, ternyata dalam praktik masih kita tempatkan tersendiri, sebagai elemen yang terpisah dari proses kebijakan lainnya.


Laporan bahwa di beberapa lokasi di Sumatera, kawanan gajah menyerbu perkampungan dan menghacurkan tanaman pertanian, atau harimau memasuki kampung dan menerkam penduduk, merupakan berita klise, yang tidak menarik. Kenyataan menunjukkan, bahwa bukan gajah atau harimau itu yang melakukan intervensi, melainkan kebijakan penempatan penduduk atau lokasi hunian memang sengaja ditempatkan di habitat gajah atau harimau. Jadi manusialah yang mengintervensi ekosistem tertentu, dan dalam prosesnya, apabila terjadi konflik, manusia harus dimenangkan. Jika tidak, kita dianggap tidak manusiawi.


Jumlah jenis sumberdaya genetika tumbuhan di Indonesia, seperti sering dilansir, adalah sekitar 30.000 species, dan satwa sekitar 4.000 species, adalah jumlah yang tidak dapat dipercaya. Jika kita berjalan-jalan di lapangan, hutan alam, daerah pertanian, kampung, tepi pantai, dan kita mau menghitung, maka jumlah tersebut terbukti sangat kecil dengan kenyataan yang ditemukan. Itupun jika kita berbicara soal species, belum berbicara soal keanekaragaman intraspecies (forma, kultivar, varietas). Jadi memang aneh rasanya jika sebuah kawasan konservasi ditetapkan untuk memperlindungi satu atau dua species, misalnya Ujungkulon untuk badak dan penyu, sementara itu, ada ribuan atau puluhan ribu species tumbuhan, jamur, hewan (serangga terutama) yang menghuni kawasan tersebut, yang kesemuanya punya peran dalam beroperasinya sebuah mesin raksasa yang disebut ekosistem.


Benarkah konservasi adalah untuk manusia? Bukankah konservasi adalah untuk konservasi? Jika pandangan kita menempatkan konservasi alam dan plasmanutfah adalah untuk kepentingan manusia, maka dapat dipastikan, kita akan berhadapan dengan kegagalan total. Dengan paradigma alam demi kepentingan manusia, manusia akan selalu pada pihak yang memenangkan konflik, dan alam lingkungan akan selalu dalam posisi korban. Kelihatan sangat konservatif memang, jika kita memilih paradigma konservasi adalah untuk konservasi, walaupun manusia pasti juga akan terkena bias keuntungan dari kebijakan konservasi tersebut. Filosofi yang sering terlupakan adalah persoalan “hak hidup” – bahwa mahluk lain, tumbuhan dan satwa, diperlindungi karena bukan hanya penting bagi manusia, melainkan karena memang memiliki hak-hidup sama dengan manusia, di planet yang sama, yang bernama bumi. Dalam sejarah pembentukan sistem ekologi semesta, menunjukkan bahwa manusia adalah mahluk terakhir yang menjadi penghuni planet ini, sementara mahluk bersel satu, tumbuhan dan hewan, jauh lebih dulu hadir. Selama proses kehidupan berjalan di bumi, fakta menunjukkan bahwa tumbuhan dan satwa dapat melangsungkan kehidupannya secara baik sekalipun tidak ada mahluk yang bernama manusia. Sebaliknya, manusia dengan usia kehadiran di bumi yang relatif singkat, sekitar 15.000 tahun yang lalu, tidak pernah dapat mempertahankan kelanjutan hidupnya tanpa ketergantungan pada tumbuhan dan satwa. Jadi, pewaris sah planet bumi ini, sesungguhnya bukanlah manusia, melainkan mahluk lainnya.


Jacques Monod, mungkin benar, bahwa segala sesuatu berproses dan lahir hanya karena prinsip “serba kebetulan”. Tidak ada satu pun di bumi ini yang eksis, kecuali hanya karena kebetulan. Tumbuhan, satwa, manusia, cadas dan air, ada di bumi karena kebetulan. Indonesia, kaya dengan sumberdaya genetika, juga mungkin karena hanya kebetulan. Kita melakukan konservasi, juga karena kebetulan, dan kehancuran sebuah ekosistem, satu species, juga pasti hanya karena kebetulan. Sama seperti kehadiran semua mahluk di bumi, juga cuma kebetulan. Tidak ada yang terencana. Jika suatu saat PSSI bermain dan menang melawan Chelsea, pasti cuma kebetulan, karena kebetulan penjaga gawang berdiri di posisi yang salah.(AIS/YAYASAN PRIMABAKTI ALAM HAYATI INDONESIA)

1 komentar: