Selasa, Maret 17, 2009

BUKAN KAWIN KONTRAK

BAGAIMANA mahluk hidup mengembangbiakkan dirinya, adalah hal yang umum dibicarakan, tetapi sampai hari ini masih sebagian besar merupakan misteri. Model yang dikenali ialah mereka melakukan perkawinan, yaitu hubungan reproduktif antara jantan dan betina, baik pada tumbuhan maupun hewan. Alat reproduksi pada setiap mahluk berbeda, meskipun proses pembuahan berjalan menurut prinsip-prinsip yang sama pada setiap mahluk. Di sini, sel sperma jantan bertemu dengan sel ovum pada betina, selanjutnya terbentuk bakal anak atau bakal buah.


Pada tumbuhan, proses perkawinan atau pembuahan biasanya tidak teramati secara jelas, karena umumnya yang dapat dilihat adalah hasil berupa telah terjadinya pembuahan, kecuali jika prose situ sendiri bersifat artifisial, dalam arti ada campur tangan manusia, seperti penyerbukan atau kawin-silang. Tetapi pada hewan, proses itu dapat diamati secara langsung, semacam proses mating, yang memperlihatkan gerakan dan reaksi-reaksi tertentu pada individu yang sedang kawin.


Beberapa species hewan juga agak sukar diamati, karena waktu atau tempat berlangsungnya proses kawin itu tidak umum, misalnya di tengah malam, di dalam lubang-lubang, atau berlangsungnya sangat cepat. Mungkin kelompok yang paling mudah diamati adalah serangga (insects dan arachnids), karena selain ada di mana-mana, juga sebagian besar lebih terbuka dan dapat berlangsung sepanjang waktu, bergantung jenisnya.


Kawin adalah proses biologis yang mutlak bagi setiap mahluk hidup, untuk dapat mempertahankan kelanjutan hidup jenisnya. Sebagian mahluk hidup memiliki intensitas kawin yang tinggi, sebagian lagi intensitasnya jarang atau rendah. Jenis-jenis yang tinggi intensitas kawinnya, secara biologis dan ekologis adalah jenis-jenis yang mendapatkan tekanan tinggi, misalnya karena predasi, sehingga populasinya mudah terancam habis atau punah. Untuk tetap mempertahankan keberadaan jenisnya, terhindar dari kepunahan, mereka harus melakukan aktivitas reproduksi yang tinggi, dalam arti aktivitas kawin yang tinggi atau turunan (anak-anak atau buahnya) yang dihasilkan dalam jumlah besar. Beberapa jenis serangga, yang selalu merasa terancam oleh predator, yang menjadi sumber makanan dalam rantai makanan, akan beradaptasi untuk menjadi jenis yang memiliki kemampuan reproduksi tinggi.


Ketersediaan sumber makanan juga sangat berpengaruh pada pola reproduksi. Jenis-jenis hewan misalnya memiliki naluri untuk mengatur batas populasi jenisnya agar seimbang dengan batas daya dukung relung habitat yang mereka huni. Populasi jenis yang terlalu besar, yang tidak diimbangi dengan ketersediaan ruang dan sumber makanan yang cukup, akan mengarahkan jenis tersebut ke kemerosotan jumlah atau kepunahan. Tetapi ledakan sebuah populasi, tidak semata-mata disebabkan oleh tingginya reproduksi, melainkan dapat juga disebabkan oleh rendahnya komponen pengontrol seperti pemangsa, yang biasanya terjadi karena kerusakan keseimbangan ekologis.


Jadi, perkawinan pada setiap mahluk hidup, merupakan aktivitas biologis yang mutlak, dan mereka juga pada umumnya memiliki kemampuan untuk mengatur proses dan hasil dari perkawinan itu. Tidak seperti manusia, meskipun memiliki pengetahuan tentang daya dukung lingkungan, namun ternyata ber-KB juga gagal di mana-mana. Dan pada hewan atau tumbuhan, tidak dikenal adanya “kawin kotrak”. (ais)

Senin, Maret 16, 2009

PENCINTA BATU

SEBAGAIMANA diketahui tidak ada satu pun relung (niche) dalam ekosistem yang tidak termanfaatkan oleh satu atau beberapa jenis kehidupan, satwa atau tumbuhan. Bahkan penelitian menunjukkan, di lava gunung berapi pun, yang merupakan kondisi yang sangat ekstrem, dapat ditemukan kehidupan. Di kutub yang dingin membeku, yang merupakan kebalikan dari lava dan gurun pasir, juga dipenuhi oleh kehidupan. Demikian juga di dasar laut dalam, palung dan lubuk yang gelap gulita, yang jutaan tahun tak tersentuh cahaya matahari, ternyata ditemukan adanya mahluk hidup dengan perikehidupan yang kompleks. Di sini, adaptasi merupakan kunci keberhasilan setiap mahluk hidup untuk menghuni sebuah relung tempat mereka harus bertahan.


Di dalam biosfer, banyak kondisi habitat yang oleh manusia dinilai sangat ekstrem, seperti gurun pasir, daerah kutub, zona alpine, dan laut dalam. Namun demikian, tipe-tipe habitat seperti itu, memiliki struktur dan komponen pendukung kehidupan yang sama lengkapnya dengan habitat lainnya. Mungkin perbedaan hanya pada masalah jumlah ragam kehidupan yang menghuninya, atau karena rendahnya tingkat interaksi antara manusia dengan habitat yang ekstrem itu.


Dalam skala kecil, tipe-tipe habitat yang ekstrem itu dapat ditemukan sebagai relung pada setiap tipe ekosistem, misalnya ekosistem daerah aliran sungai, ditemukan pada tumpukan bebatuan, hamparan lumpur (mudflats), dan tebing-tebing yang terus-menerus tergerus oleh air. Sepintas, pada relung seperti itu, sangat sukar ditemukan adanya kehidupan, karena tingkat ketergangguannya yang besar atau karena ketersediaan produsen yang rendah.


Jika kita berjalan-jalan di tepi sungai, terutama sungai yang berbatu-batu, kita dapat melihat sepintas bahwa komponen abiotik seperti batu-batu itu hampir tidak memiliki peran dan fungsi di dalam bangun ekosistem, khsususnya dalam bentuk kemanfaatan bagi komponen biotik. Tapi kenyataannya tidak demikian, karena di sela-sela, di bawah, dan di permukaan batu-batu itu, ada cukup banyak mahluk hidup yang menggantungkan hidupnya.


Sebagai komponen abiotik, memang batu itu bukan sumber produsen, yang menyediakan makanan bagi hewan. Tetapi batu-batu itu tidak kecil perannya sebagai media dalam tumbuhnya beberapa jamur dan ganggang, yang kemudian memancing berbagai jazad renik (microorganism), yang menjadi bagian paling mendasar dalam sebuah ekosistem. Keberadaan jamur, ganggang, dan jazad renik menjadi sumber makanan bagi beberapa jenis serangga, dan serangga akan menjadi sumber makanan bagi jenis satwa yang lebih besar. Batu-batu itu pada akhirnya memiliki peran sentral dalam rantai makanan, yaitu sebagai media antara, dan karena itu fungsinya menjadi sangat penting.


Keberadaan batu juga menjadi penting dikaitkan dengan perlunya para serangga dan lainnya memiliki tempat berlindung, tempat beristirahat dan sebagian menjadikannya tempat untuk bertelur. Batu pada tebing sungai, memiliki kemampuan untuk membangun kelembaban, serta menahan berbagai seresah hutan yang hanyut, yang kemudian mengalami dekomposisi, dan menjadi sumber makanan langsung atau sebagai media tumbuh. Kondisi ini menjadikan batu sebagai relung yang lengkap, menurut ukuran serangga yang menghuninya, terutama terkait dengan tingkat kebutuhan dan keamanannya.


Melalui adaptasi sesuai dengan perkembangan lingkungan, batu menjadi alat pembangun warna samaran (mimicry) bagi serangga-serangga dan hewan lainnya. Karena itu, warna hewan-hewan yang menghuni bebatuan itu sangat serasi dengan warna permukaan batu-batuan, dan menjadi model penyamaran yang efektif. Umumnya serangga-serangga berwarna coklat, coklat-kehitaman, berbintik-bintik, serta kebiruan kabur. Ini sangat bermanfaat bagi serangga-serangga itu untuk menghindarkan diri dari pemangsa. Jika tidak benar-benar diperhatikan, cukup sukar untuk mengetahui keberadaan mereka di antara batu-batu itu.




Jenis-jenis serangga yang dapat ditemukan menghuni relung berupa tumpukan bebatuan sungai, umumnya berupa beberapa jenis kepik, lalat, belalang, capung, laba-laba, dan nyamuk; kemudian beberapa jenis dari Ordo Hymenoptera, yang lebih merupakan serangga tamu di bebatuan. Juga dapat ditemukan beberapa jenis kupu-kupu, tetapi juga sebagai serangga tamu, yang datang hanya untuk menghisap garam-garaman. Dari kekerabatan lain, dapat ditemukan luwing atau kaki-seribu, dan sebagai konsumen paling dominan adalah katak, tikus, burung dan ular.


Pada beberapa batuan yang kebetulan memperoleh kelembaban yang tinggi, misalnya karena ternaungi oleh pohon, tampak sangat subur ditumbuhi oleh berbagai lumut, dan pakis. Keberadaan lumut, dan terutama pakis yang sudah merupakan tumbuhan tingkat tinggi, membentuk ekosistem bebatuan yang lebih permanen, dan melengkapkan kehadiran produsen dan konsumen ke dalam sebuah simbiose yang serasi. Karena peranan produsen dalam bentuk ganggang, beberapa jenis dekomposer, dan mikroorganisme lain, maka di tempat itu akan terbangun sebuah pola ekologis yang kompleks. Jaring-jaring makanan akan terbentuk dan berjalan sesuai siklus yang berlaku untuk relung tersebut.




Jadi, kita dapat melihat dan mempelajari bagaimana setiap mahluk menyesuaikan diri agar dapat bertahan pada tipe habitat, khususnya menghuni relung, yang dianggap paling sesuai baginya. Tidak ada satu pun relung di bumi ini yang tidak memiliki daya tarik, termasuk di tumpukan bebatuan tebing sungai. Di sana, banyak hewan yang benar-benar pencinta batu. (ais)

Minggu, Maret 15, 2009

CAPUNG MONSTER

SEMUA orang pasti tahu dan kenal serangga yang bernama capung, yang oleh orang lain disebut sebagai “naga terbang” (dragonfly). Berjalanlah ke tepi hutan, padang rumput, tepi rawa, tepi jalan, hutan sekunder, bahkan pekarangan rumah, atau di mana saja, hampir selalu ditemukan adanya capung. Tetapi dari segi habitat, umumnya pada tempat-tempat yang tidak jauh dari genangan air, karena di sanalah mereka melatakkan telur-telurnya, yang akan menetas jadi nimfa (nympha) setelah 6 – 40 hari, bergantung jenisnya, dan seterusnya jadi capung dewasa. Seekor capung, dalam satu tahap masa peteluran, si betina dapat meletakkan 50 – 400 butir telur, bahkan ada species yang dapat bertelur sampai 1.000 butir.

Di dunia ini, jumlah jenis capung yang tergabung dalam Ordo Odonata, lumayan banyak, diperkirakan sekitar 5.000 species, dan di Indonesia sendiri lebih dari 900 species. Dari rekaman fosil capung yang ditemukan, dari zaman karbon, misalnya dari marga Meganeura, diketahui bahwa di bumi ini pernah hidup capung purba yang rentang-sayapnya mencapai 120 cm. Di Indonesia, capung dapat ditemukan dengan ukuran yang cukup besar, yaitu panjangnya 10-12 cm, dari species Anax maclachlani, sedangkan jenis yang kecil panjang badannya hanya sekitar 1,5 cm, yaitu species Agriocnemis minima, Agriocnemis pygmaea.

Kelompok capung, di Indonesia, hanya ada beberapa yang sangat umum dikenali karakternya melalui familinya, yaitu capung berperut gembung (famili Gomphidae), karena di ujung perutnya, ada bagian yang membengkak atau menggembung. Berikutnya, capung bermata besar (famili Aeshnidae), karena memang ukuran matanya yang besar dan mencolok. Kemudian capung luncur (famili Libellulidae), yang selalu bergerak dan menyambar-nyambar. Lalu capung jarum (Famili Coenagrionidae), karena memang perutnya panjang kurus seperti jarum. Keempat famili inilah yang paling sering terlihat secara keseharian, tapi selain itu, di Indonesia masih terdapat capung-capung lain dari famili-famili Calopterygidae, Petaluridae, Macromiidae, Corduliidae, dan sebagainya.

Dalam pengelompokan capung, salah satu ciri capung yang dikenal secara umum ialah memiliki sayap dua pasang, atau empat lembar, yang bentuknya memanjang, tembus pandang dan menampakkan jala-jala urat yang banyak, yang sepintas seperti jaring (membranaceus). Mata majemuknya, yang besar, dapat dikatakan menutupi seluruh kepala. Antenanya sangat kecil, tetapi perutnya (abdomen) panjang dan tipis. Dari tipe mulutnya yang tampak, dapat diketahui bahwa capung memiliki model gigi pemotong dan pencabik.

Apabila diperhatikan tampilan capung, yang sering kita temukan, terdapat dua bentuk yang berbeda, yaitu capung besar dan capung jarum. Capung besar ditandai dengan ukuran yang memang lebih besar, tetapi sayap depan dengan sayap belakangnya tidak sama besar, dan pada saat hinggap di suatu tempat, keadaan sayap tetap terentang ke samping dalam posisi tegak lurus dengan badannya. Pada nimfa, yang hidup di dalam air, insangnya terdapat di dalam rongga rektum. Ini merupakan ciri umum untuk semua capung dalam Subordo Anisopetara.

Berbeda dengan capung besar, bentuk dan ukuran sayap pada capung jarum, ditandai oleh sayap depan dan sayap belakang yang sama besar, dan ketika hinggap, sayap-sayapnya tidak terentang, tetapi terlipat ke belakang sejajar perutnya. Pada nimfa, insangnya bukan di dalam rongga rektum, melainkan di ujung abdomen, dalam bentuk tiga lembar organ pernafasan, dengan letak persis seperti bilah-kipas baling-baling kapal. Ini merupakan ciri umum dari Subordo Zygoptera.

Capung adalah monster, bukan hanya pada tampilannya yang keren dengan wajah terkesan menakutkan, melainkan juga sejak masih sebagai nimfa yang hidup di dalam air, mereka sudah ganas mengganyang serangga air, larva, dan anak ikan. Setelah dewasa pun, capung akan tetap memangsa sesama serangga, terutama nyamuk, ngegat, agas dan sebagainya. Sebagai serangga yang ditakdirkan menjadi karnivorous sejati, maka dia memiliki mata yang berukuran besar dengan kemampuan jangkauan pandang ke semua arah, karena kepalanya dapat memutar 360°.

Gerakan capung juga istimewa, dengan sayap yang kaku, tipis dan ringan, capung dapat melakukan gerakan akrobatik yang memukau, dapat langsung berbelok-arah pada posisi kurang dari 90°. Kaki dan cakarnya kuat, mampu memegang mangsanya dengan baik, yang disambar ketika sedang terbang, dan langsung membawa mangsa tersebut ke mulutnya. Capung dapat makan sambil terbang.

Mengamati capung merupakan kegiatan yang menarik, karena perilakunya yang aktif, dan terutama warna-warninya yang cukup bervariasi. Dari ratusan jenis capung yang ada di Indonesia, memang ada beberapa yang paling umum dijumpai, terutama capung yang menyenangi rerumputan dan bertengger di tanaman-tanaman hias kolam di samping rumah. Ada beberapa species yang kemunculannya di suatu tempat bersifat musiman, dengan jumlah ratusan dan bahkan ribuan, beterbangan dan berzig-zag di udara, sambil mencari mangsa.

Ketika kecil, jika seorang anak terlalu sering pipis, bahkan pun ketika dia telah berusia 6-7 tahun, masih pipis di tempat tidur, umumnya tradisi mengajarkan agar segera ditangkap seekor capung besar (dalam bahasa Bugis: jurujuru lambatong), dan capung tersebut diupayakan menggigit pusar si anak. Tapi terlepas dari soal kebiasaan pipis tersebut, perhatikan saja sang lambatong itu dengan seksama. Mereka adalah monster, yang agresif, ganas, tetapi menarik dan harus dilestarikan.(ais)

Jumat, Maret 13, 2009

TAMAN HUTAN RAYA

Bentuk terakhir dari kawasan konservasi alam, adalah taman hutan raya (grand forest park), yang sebenarnya merupakan bentuk dari pelestarian terkombinasi, antara eks-situ dan in-situ. Taman hutan raya dapat ditetapkan dari hutan alam, dan juga dapat dibangun sendiri (hutan buatan). Namun demikian, fungsi yang jelas sebuah hutan raya adalah sebagai etalase keragaman jenis, tempat penelitian, tempat penangkaran jenis, serta juga sebagai tempat wisata.
Taman hutan raya di dalam pengelolaannya, dapat menerima intervensi dan perlakuan tertentu untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Oleh karena itu, seperti juga kebun raya, pada taman hutan raya dapat saja dimasukkan koleksi tanaman baru (introductive), guna melengkapi keragaman jenis yang ada di dalam kawasan. Pada taman hutan raya, juga dapat dilepasliarkan jenis satwa tertentu, sepanjang dapat dijamin bahwa satwa tersebut tidak akan keluar dari kawasan dan menjadi feral – umumnya jika satwa yang dimasukkan berupa burung.
Taman hutan raya tidak memiliki batasan luas tertentu, boleh sempit dan boleh juga sangat luas, namun tetap dibutuhkan persyaratan bahwa tegakan spesimen tumbuhan yang ada dalam kawasan terdiri atas 80 % tanaman lokal (setempat), dan hanya 20 % yang merupakan tanaman yang dimasukkan dari bioregion lain. Sebuah taman hutan raya di Sulawesi Selatan, misalnya, dapat mengoleksi seluruh jenis tanaman lokal yang ada dalam bioregion Sulawesi sebagai species dominan dalam kawasan. Karena itu, sebuah taman hutan raya, dapat berfungsi sebagai tempat penyelamatan jenis tumbuhan tertentu, yang mulai langka, terancam, dan sebagainya, sepanjang tumbuhan tersebut mewakili bioregion di tempat taman hutan raya itu berada. Jika sebuah kawasan diupayakan mengoleksi semua jenis tumbuhan yang juga berasal dari semua bioregion, maka kawasan tersebut sudah menjadi “kebun raya”, bukan lagi taman hutan raya.
Oleh karena itu, sebuah taman hutan raya sebenarnya prestasinya dilihat pada kemampuannya menampung sebanyak mungkin species tumbuhan yang mewakili bioregionnya, atau lebih bagus lagi jika dibatasi pada biolocalnya. Tetapi dalam kondisi praktis tertentu, terkadang sebuah taman hutan raya hanya mempehitungkan kepadatan dan kerimbunan hutannya, bukan keragaman jenis penyusun hutannya. Sekali lagi, taman hutan raya adalah sebuah “etalase” bagi wilayahnya, yaitu pada ketika seseorang memasuki hutan raya tersebut, langsung dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang kondisi, keragaman, keunikan, dan berbagai hal lainnya yang terkait dengan keadaan flora dan fauna setempat.
Sampai dengan tahun 2008, di Indonesia telah ditetapkan taman hutan raya pada 21 lokasi, dengan luas total 343.454,41 hektar.

DAFTAR TAMAN HUTAN RAYA YANG TELAH DITETAPKAN DI INDONESIA:

BARISAN, Bukit – Taman Hutan Raya
SUMATERA UTARA, Karo, Deli Serdang, Langkat, 51.600,00 ha, Keputusan Presiden RI Nomor 48 Tahun 1988, 29 November 1988.
BONTOBAHARI – Taman Hutan Raya
SULAWESI SELATAN, Bulukumba, 3.475,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 721/Menhut-II/2004, 1 Oktober 2004.
BUNDER, Gunung – Taman Hutan Raya
DI YOGYAKARTA, Gunung Kidul, 617,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 353/Menhut-II/2004, 28 September 2004.
CUT NYAK DHIEN (POCUT MEURAH INTAN) – Taman Hutan Raya
NANGROE ACEH DARUSSALAM, Aceh Besar, 6.300,00 Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 95/Kpts-II/2001, 15 Maret 2001.
HERMAN YOHANNES, Prof Ir – Taman Hutan Raya
NUSA TENGGARA TIMUR, Kupang, 1.900,00 ha, Keputusan Presiden RI Nomor 80 Tahun 1996, 11 Oktober 1996.
JUANDA, Ir H. – Taman Hutan Raya
JAWA BARAT, Bandung, 590,00 ha, Keputusan Presiden RI Nomor 3 Tahun 1995, 14 Januari 1995.
MOHAMMAD HATTA, Dr – Taman Hutan Raya
SUMATERA BARAT, Padang, 12.100,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 193/Kpts-II/1993, 27 Maret 1993.
MURHUM – Taman Hutan Raya
SULAWESI TENGGARA, Kendari, 7.877,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 103/Kpts-II/1999, 2 Maret 1999.
NGARGOYOSO – Taman Hutan Raya
JAWA TENGAH, Karang Anyar, 231,30 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 233/Kpts-II/2003, 15 JulI 2003.
NGURAH RAI – Taman Hutan Raya
BALI, Badung, 1.392,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 067/Kpts-II/1988, 15 Februari 1988.
NURAKSA – Taman Hutan Raya
NUSA TENGGARA BARAT, Lombok Barat, 3.155,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 244/Kpts-II/1999, 27 April 1999.
PABOYA-PANEKI – Taman Hutan Raya
SULAWESI TENGAH, Donggala, 7.128,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 24/Kpts-II/1999, 9 April 1999.
PALASARI, Gunung – Taman Hutan Raya
JAWA BARAT, Sumedang, 35,81 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 297/Menhut-II/2004, 10 Agustus 2004.
PANCORAN MAS DEPOK – Taman Hutan Raya
JAWA BARAT, Bogor, 6,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 276/Kpts-II/1999, 7 Mei 1999.
RAJA LELO – Taman Hutan Raya
BENGKULU, Bengkulu Utara, 1.122,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 21/Kpts/VI/1998, 7 Januari 1998.
SOEHARTO, Bukit – Taman Hutan Raya
KALIMANTAN TIMUR, Samarinda, 61.850,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 419/Menhut-II/2004, 19 Oktober 2004.
SULTAN ADAM – Taman Hutan Raya
KALIMANTAN SELATAN, Banjarbaru, 112.000,00 ha, Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1989, 19 Desember 1989.
SULTAN SYARIF HASYIM – Taman Hutan Raya
RIAU, Kampar, 6.172,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 348/Kpts-II/1999, 26 Mei 1999.
SULTAN THAHASAIFUDIN – Taman Hutan Raya
JAMBI, Batanghari, 15.830,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 94/Kpts-II/2001, 15 Maret 2001.
SURYO, Raden – Taman Hutan Raya
JAWA TIMUR, Sidoarjo, Malang, 27.828,30 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 80/Kpts-II/2001, 19 Mei 2001.
WAN ABDUL RACHMAN – Taman Hutan Raya
LAMPUNG, Lampung Selatan, 22.245,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 679/Kpts-II/1999, 1 September 1999.
(ais)

Kamis, Maret 12, 2009

TAMAN BURU

SELAIN bentuk kawasan konservasi yang sifatnya lebih tertutup seperti cagar alam dan suaka margasatwa, dikenal bentuk lain yang lebih terbuka yaitu taman nasional (pada wilayah penyangga), taman wisata alam, dan taman buru – terakhir kemudian diperkenalkan model taman hutan raya.
Taman buru (game park) adalah sebentuk kawasan konservasi yang dipersiapkan selain untuk tujuan pelestarian, juga untuk mengakomodir kebutuhan perburuan satwa. Dengan demikian, kawasan taman buru memang dibangun untuk keperluan perburuan satwa yang sudah ditentukan jenisnya, dan disertai persyaratan-persyaratannya.
Untuk kepentingan perburuan di dalam taman buru, persyaratan yang diperlukan biasanya berkisar pada: (1) kondisi jumlah individu satwa buru dalam populasi; (2) musim berkembangbiak; (3) batas umur satwa yang boleh diburu; (4) lamanya perburuan dan wilayah jelajahnya; (5) jumlah maksimum individu yang boleh diburu; dan (6) jenis peralatan perburuan yang digunakan.
Populasi satwa buru di dalam taman buru merupakan penentu utama terkait dengan boleh atau tidak boleh dilakukan perburuan. Sebab meskipun satu jenis satwa telah ditetapkan sebagai satwa buru tetapi jika jumlah populasinya berada dalam batas yang rawan kepunahan, maka perburuan tidak dapat dilakukan. Kegiatan berburu pada musim kawin dan beranak-pinak, juga akan menimbulkan gangguan yang sangat merugikan bagi penambahan jumlah populasi – sebab bisa dibayangkan bagaimana kehidupan seekor anak rusa jika masih pada usia menyusu tiba-tiba induknya dibunuh. Itu berarti terbuka peluang bagi turut matinya si anak rusa, dan dengan sendirinya menghambat pertambahan populasi.
Meskipun diberi predikat taman buru, yaitu tempat yang disediakan untuk menyalurkan kesenangan berburu, namun jelas tidak diizinkan untuk memburu satwa-satwa yang bukan satwa buruan yang telah ditetapkan. Jika hal seperti ini terjadi, berarti si pemburu telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan perburuan.
Berkenaan dengan umur satwa yang boleh diburu, juga penting menjadi perhatian. Umur muda dan produktif seharusnya tidak mendapatkan tekanan dan gangguan, sedangkan umur yang sudah dewasa, hal tersebut dimungkinkan. Jumlah yang diburu juga harus dibatasi, paling tidak pada setiap musim, dalam arti harus dapat diperhitungkan berapa banyak individu yang boleh diburu dalam sebuah populasi menurut paruhan waktu tertentu. Karena itu, setiap pemburu harus diberi batasan jumlah satwa yang boleh diburu atau dibunuh.
Tidak semua wilayah taman buru harus dijelajahi untuk berburu, sebab ada lokasi tertentu dalam suatu kawasan taman buru yang disediakan sebagai “lokasi aman” bagi satwa buru, sehingga tidak secara total populasi satwa buru mengalami tekanan psikis yang dapat membuatnya stress. Sedangkan peralatan yang digunakan juga harus sudah ditentukan, misalnya jenis senjata api yang bagaimana yang sesuai – tidak boleh menggunakan senapan mesin, peledak, pembakar, zat beracun, dan sebagainya, yang bukan hanya akan membunuh satwa buru tetapi juga akan membunuh satwa yang bukan buruan, serta akan mencemari dan menghancurkan habitatnya.
Di Indonesia, sejauh ini, untuk kategori satwa buru besar masih dibatasi pada mamalia seperti babi hutan/celeng (Sus sp.) dan rusa atau sambar (Cervus sp.), tetapi inipun harus dicermati, sebab setiap satwa yang telah ditetapkan sebagai satwa yang diperlindungi berdasarkan perundang-undangan, di manapun berada, tidaklah seharusnya diburu dan dibunuh.
Sampai dengan tahun 2008, jumlah kawasan taman buru di Indonesia yang telah ditetapkan adalah sebanyak 15 lokasi, dengan luas total 219.392,49 hektar.

DAFTAR TAMAN BURU YANG TELAH DITETAPKAN DI INDONESIA:

BANGKALA – Taman Buru
SULAWESI SELATAN, Takalar, 4.152,50 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor : 760/Kpts/Um/10/82, 12 Oktober 1982.
BENA, Dataran – Taman Buru
NUSA TENGGARA TIMUR, Timor Tengah Selatan, 2.000,64 ha,, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 74/Kpts-II/1996, 27 Februari 1996.
KOMARA – Taman Buru
SULAWESI SELATAN, Takalar, 2.972,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 237/Kpts-II/1997, 9 Mei 1997.
LANDUSA TOMATA – Taman Buru
SULAWESI TENGAH, Poso, 5.000,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 397/Kpts-II/1998, 21 April 1998.
LINGGA ISAQ – Taman Buru
NANGROE ACEH DARUSSALAM,. Aceh Tengah, 80.000.00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 70/Kpts/Um/2/78, 1 Februari 1978.
MASIGIT KAREUMBI, Gunung – Taman Buru
JAWA BARAT, Sumedang, Garut, 12.420,70 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 298/Kpts-II/1998, 27 Februari 1998.
MATA OSU, Padang – Taman Buru
SULAWESI TENGGARA, Kolaka, 8.000,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 643/Kpts-II/1998, 23 September 1998.
MOYO, Pulau – Taman Buru
NUSA TENGGARA BARAT, Sumbawa, 22.250,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 308/Kpts-II/1986, 4 September 1986.
NANU’UA, Gunung – Taman Buru
BENGKULU, Bengkulu Utara, 10.000,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 741/Kpts/Um/11/78, 1 November 1978.
NDANA, Pulau – Taman Buru
NUSA TENGGARA TTIMUR, Kupang, 1.562,00 HA, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 83/Kpts-II/1993, 1 Januari 1993.
PINI, Pulau – Taman Buru
SUMATERA UTARA, Nias, 8.350,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 347/Kpts-II/1996, 5 Juli 1996.
REMPANG, Pulau – Taman Buru
RIAU KEPULAUAN, Kepulauan Riau, 16.000,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 307/Kpts-II//1986, 29 September 1986.
RUSA, Pulau – Taman Buru
NUSA TENGGARA TIMUR, Alor, 1.384,65 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 8820/Kpts-II/2002, 24 Oktober 2002.
SEMIDANG BUKIT KABU – Taman Buru
BENGKULU, Bengkulu Utara, 15.300,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 186/Kpts/Um/4/73, 1 April 1973.
TAMBORA SELATAN – Taman Buru
NUSA TENGGARA BARAT, Dompu, 30.000,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 676/Kpts/Um/11/78, 1 November 1978.
(ais)

TAMAN WISATA ALAM

KAWASAN taman wisata alam (nature recreation park), merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi alam, yang penekanan dan fungsinya adalah pada perlindungan dan sekaligus pelestarian komponen ekosistem tertentu, biasanya karena bentang-alam (landscape) atau karena kehidupan satwa dan tumbuhan tertentu. Kebanyakan taman wisata alam yang ada di Indonesia lebih difokuskan pada bentang-alam, semisal danau yang indah, air terjun, sumber air panas, gua, karst, pasir putih, debur ombak, atau formasi alam yang dikombinasi dengan tradisi penduduk setempat. Taman wisata alam merupakan kawasan konservasi yang tampaknya sangat banyak diintervensi oleh manusia, baik dalam arti pemanfaatannya oleh pengunjung maupun dalam hal pengelolaannya.

Pada prinsipnya, di dalam sebuah taman wisata alam tetap berlaku aturan konservasi secara umum, dalam arti pengunjung tidak diizinkan melakukan pengambilan spesimen satwa atau tumbuhan, baik hidup maupun mati, atau dilarang adanya kegiatan perburuan, dilarang merusak, dilarang menambah dan mengurangi, serta mencemari lingkungan dalam areal. Karena itu, prinsip yang dianut adalah “kill nothing but times, take nothing but pictures, and leave nothing but footprints” – jangan bunuh sesuatu kecuali waktu, jangan ambil sesuatu kecuali gambar, dan jangan tinggalkan sesuatu kecuali jejak kaki. Jadi, kemurnian dan keaslian kondisi taman wisata alam harus tetap dijaga dan dipertahankan.

Taman wisata alam juga memiliki fungsi sebagai pusat penyadaran dan pengembangan wawasan bagi warga masyarakat, terkait dengan pentingnya menjaga dan memelihara lingkungan alam. Karena itu, dalam kawasan taman wisata alam, dapat diadakan beberapa prasarana dan sarana tertentu, misalnya rest house, trails/jalan setapak, aula atau pendopo untuk informasi, emergency room, dan sarana untuk kebutuhan publik lainnya – namun pada prinsipnya dilarang membangun tempat-tempat penginapan (inn), motel, serta warung atau restoran di dalam kawasan – bahkan termasuk camping ground. Hal yang terakhir ini sangat banyak dilanggar oleh pengelola kawasan sendiri. Sarana-sarana seperti warung atau penginapan, termasuk areal parkir, atau souvenirs shop seharusnya berada di luar kawasan. Di Indonesia, banyak kawasan wisata yang terpepet oleh kerumunan bungalow, dan semacamnya.

Taman wisata alam secara normatif berbeda dengan tempat rekreasi yang juga banyak dikelola di mana-mana, yang tumbuh pesat seperti jamur. Tempat rekreasi (recreation area) adalah kawasan yang dikelola memang khusus untuk kepentingan ekonomis, dan pengelolanya tidak secara langsung diharuskan mematuhi azas-azas konservasi. Dalam sebuah tempat rekreasi, tindakan eksploatasi malah sering dijadikan daya tarik, misalnya dalam bentuk memancing ikan yang ada dalam areal, atau memetik buah-buahan tertentu – yang sebagian memang disediakan oleh pengelola. Selain itu, pada sebuah tempat rekreasi, pengelola dapat melakukan pengaturan sepenuhnya terhadap komponen lingkungan tempat rekreasi, dalam arti diatur dan didesain sedemikian rupa agar dapat menarik minat pengunjung. Hal ini dilakukan dengan cara menyediakan semua bentuk kebutuhan pengunjung, dengan memberikan semua kemudahan dan kepuasan, sepanjang dapat menghasilkan keuntungan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan keseimbangan ekologis, atau kelestarian jenis satwa dan tumbuhan tertentu, bukan tujuan utama. Walaupun demikian, dalam praktik, tidak sedikit pengelola tempat rekreasi yang secara tidak langsung memberikan kontribusi terhadap kelestarian alam, satwa atau tumbuhan – sebab seringkali, ketika seseorang atau sebuah lembaga membutuhkan spesimen tumbuhan tertentu, yang langka dan susah didapatkan, ternyata sering diperoleh di tempat rekreasi tertentu. Diyakini bahwa pengelola tempat rekreasi menanam dan memelihara jenis tumbuhan tersebut adalah semata-mata untuk melengkapi daya tarik kawasannya, tanpa maksud melakukan penangkaran untuk kepetingan konservasi.

Sampai dengan tahun 2008, di Indonesia telah ditetapkan sebanyak 119 lokasi taman wisata alam, baik di daratan maupu perairan, dengan luas total 1.065.912,43 hektar.

DAFTAR TAMAN WISATA ALAM YANG TELAH DITETAPKAN DI INDONESIA:

AIR HITAM – Taman Wisata Alam
BENGKULU, Bengkulu Utara, 433,00 ha, GB Nomor 9, 18 Mei 1932.
ANGKE KAPUK – Taman Wisata Alam
DKI JAKARTA, Jakarta Utara, 99,82 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 667/Kpts-II/1995, 15 Desember 1995.
API BANDA, Gunung – Taman Wisata Alam
MALUKU, Maluku Tengah, 734,46 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI No-mor : 1175/Kpts-II/1992, 28 Desember 1992.
ASUANSANG – Taman Wisata Alam
KALIMANTAN BARAT, Sambas, 5.821,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 259/Kpts-II/2000, 23 Agustus 2000.
BAKUT, Pulau – Taman Wisata Alam Laut
KALIMANTAN SELATAN, Barito Kuala, 18,70 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 140/Kpts-II/2003, 21 April 2003.
BANGKO-BANGKO – Taman Wisata Alam
NUSA TENGGARA BARAT, Lombok Tengah, 2.169,00 HA, Ke-putusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 664/Kpts-II/1992, 1 Juli 1992.
BANING – Taman Wisata Alam
KALIMANTAN BARAT, Sintang, 315,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 129/Kpts-II/1990, 1 Januari 1990.
BANYAK, Kepulauan – Taman Wisata Alam Laut
NANGROE ACEH DARUSSALAM, Aceh Selatan, 227.500,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 596/Kpts-II/1996, 16 September 1996.
BATANG, Pulau – Taman Wisata Alam
NUSA TENGGARA TIMUR, Alor, 500,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 423/Kpts-II/1999, 15 Juni 1999.
BATU PUTIH – Taman Wisata Alam
SULAWESI UTARA, Bitung, 615,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 1049/Kpts/Um/12/81, 24 Desember 1981.
BATUANGUS – Taman Wisata Alam
SULAWESI UTARA, Bitung, 635,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 1049/Kpts/Um/12/81, 24 Desember 1981.
BAUMATA – Taman Wisata Alam
NUSA TENGGARA TIMUR, Kupang, 800,00 HA, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 423/Kpts-II/1999, 15 Juni 1999.
BAUNG, Gunung – Taman Wisata Alam
JAWA TIMUR, Pasuruan, 195,50 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 657/Kpts/Um/9/80, 11 September 1980.
BELIMBING – Taman Wisata Alam
KALIMANTAN BARAT, Sambas, 1.374,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 259/Kpts-II/2000, 23 Agustus 2000.
BENGKAL, Sungai – Taman Wisata Alam
JAMBI, Bungo Tebo, 1.000,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 421/Kpts-II/1999, 15 Juni 1999.
BERIAT – Taman Wisata Alam
PAPUA BARAT, Sorong, 9.193,75 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 850/Kpts-II/1992, 31 Agustus 1992.
BESAR, Pulau – Taman Wisata Alam
NUSA TENGGARA TIMUR, Sikka, 3.000,00 HA, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 126/Kpts-II/1987, 1 Januari 1987.
BIPOLO – Taman Wisata Alam
NUSA TENGGARA TIMUR, Kupang, 352,62 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 161/Kpts-II/1999, 30 Maret 1999.
BODAS, Telaga – Taman Wisata Alam
JAWA BARAT, Garut, 23,85 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 98/ Kpts/Um/2/78, 1 Februari 1978.
BUYAN-TAMBLINGAN, Danau – Taman Wisata Alam
BALI, Tabanan, 1.703,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor:144/Kpts-II/1996, 4 April 1996.
CAMPLONG – Taman Wisata Alam
NUSA TENGGARA TIMUR, Kupang, 696,60 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 423/Kpts-II/1999, 15 Juni 1999.
CANI SIRENRANG – Taman Wisata Alam
SULAWESI SELATAN, Bone, 3.125,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 197/Kpts-II/1993, 27 Februari 1993.
CARITA – Taman Wisata Alam
BANTEN, Pandeglang, 95,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 440/Kpts/Um/7/1978, 15 Juli 1978.
CIBUNGUR – Taman Wisata Alam
JAWA BARAT, Purwakarta, 51,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 259/ Kpts-II/1996, 5 Juni 1996.
CIMANGGU – Taman Wisata Alam
JAWA BARAT, Bandung, 154,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 369/Kpts/Um/6/78 9 Juni 1978.
DELENG LANCUK – Taman Wisata Alam
SUMATERA UTARA, Tanah Karo, 435,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 68/Kpts-II/1989, 6 Februari 1989.
DUMAI, Sungai – Taman Wisata Alam
RIAU, Dumai, 4.721,60 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 154/Kpts-II/1990, 10 April 1990.
DUNGAN, Gunung – Taman Wisata Alam
KALIMANTAN BARAT, Sambas, 1.073,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 259/Kpts-II/2000, 23 Agustus 2000.
GAMPING, Gunung – Taman Wisata Alam
DI YOGYAKARTA, Sleman, 0,04 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 728/Kpts/Um/7/1989, 16 Desember 1989.
GILI MENO, AYER - TRAWANGAN, Gunung – Taman Wisata Alam
NUSA TENGGARA BARAT, Lombok Barat, 2.954,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 99/Kpts-II/2001, 15 Maret 2001.
GROJOGAN SEWU – Taman Wisata Alam
JAWA TENGAH, Karang Anyar, 64,30 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 264/Kpts/Um/10/68, 1 Oktober 1968.
GUNTUR, Gunung – Taman Wisata Alam
JAWA BARAT, Garut, 250,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 274/Kpts-II/1999, 7 Mei 1999.
HARAU, Lembah – Taman Wisata Alam
SUMATERA BARAT, Lima Puluh Koto, 27,50 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 478/Kpts/Um/8/79, 1 Januari 1979.
HOLIDAY RESORT – Taman Wisata Alam
SUMATERA UTARA, Labuhan Batu, 1.963,75 ha, Keputusan Men-hut Nomor: 695/Kpts-II/1990, 1 Januari 1990.
IEGON ILEMEDO – Taman Wisata Alam
NUSA TENGGARA TIMUR, SikaIegon, 2.000,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 423/Kpts-II/1999, 15 Juni 1999.
IJEN MERAPI UNGGUP-UNGGUP – Taman Wisata Alam
JAWA TIMUR, Banyuwangi, 92,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 1017/Kpts/Um/12/81, 10 Desember 1981.
JEMBER – Taman Wisata Alam
JAWA BARAT, Cianjur, 50,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 393/Kpts/Um/9/79, 9 Juni 1979.
KABA, Bukit – Taman Wisata Alam
BENGKULU, Rejang Lebong, 13.490,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 166/Kpts-II/1986, 1 Januari 1986.
KAMOJANG, Kawah – Taman Wisata Alam
JAWA BARAT, Garut, 500,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 170/Kpts/Um/3/79, 13 Maret 1979.
KAPOPOSANG, Kepulauan – Taman Wisata Alam Laut
SULAWESI SELATAN, Pangkep, 50.000,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 588/Kpts-II/1996, 12 September 1996.
KASSA, Pulau – Taman Wisata Alam Laut
MALUKU, Maluku Tengah, 1.100,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI No-mor : 633/Kpts/Um/10/78, 15 Oktober 1978.
KELAM, Gunung – Taman Wisata Alam
KALIMANTAN BARAT, Sintang, 520,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 594/Kpts-II/1992, 6 Juni 1992.
KELUANG, Tanjung – Taman Wisata Alam
KALIMANTAN TENGAH, Kumai, 2.000,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 046/Kpts-II/1984, 3 Desember 1984.
KEMANG BELENG – Taman Wisata Alam
NUSA TENGGARA TIMUR, Ende, 2.000,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 423/Kpts-II/1999, 15 Juni 1999.
KEMBANG, Pulau – Taman Wisata Alam
KALIMANTAN SELATAN, Barito Kuala, 60,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 780/Kpts/Um/12/76, 27 Desember 1976.
KERANDANGAN – Taman Wisata Alam
NUSA TENGGARA BARAT, Lombok Barat, 320,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 494/Kpts-II/1992, 1 Juni 1992.
KLAMONO – Taman Wisata Alam
PAPUA BARAT, Sorong, 1.909,37 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 219/Kpts-II/1993, 27 Februari 1993.
KUPANG, Teluk – Taman Wisata Alam Laut
NUSA TENGGARA TIMUR, Kupang, 50.000,00 ha, Kepu-tusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 18/Kpts-II/1993, 28 Januari 1993.
LAPANG, Pulau – Taman Wisata Alam
NUSA TENGGARA TIMUR, Alor, 500,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 423/Kpts-II/1999, 15 Juni 1999.
LASOSO, Teluk – Taman Wisata Alam Laut
SULAWESI TENGGARA, Kendari, 81.800,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 451/Kpts-II/1999, 17 Juni 1999.
LAU DEBUK-DEBUK – Taman Wisata Alam
SUMATERA UTARA, Tanah Karo, 7,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 320/Kpts/Um/5/80, 9 April 1980.
LEJJA – Taman Wisata Alam
SULAWESI SELATAN, Soppeng, 1.265,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 636/Kpts-II/1996, 7 Oktober 1996.
LIKU, Sungai – Taman Wisata Alam
KALIMANTAN BARAT, Sambas, 821,30 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 137/Menteri Kehutanan RI-II/2004,5 Maei 2004.
LINGGARJATI – Taman Wisata Alam
JAWA BARAT, Kuningan, 11,51 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 53/Kpts/Um/2/75, 1 Februari 1975.
MADAPANGGA – Taman Wisata Alam
NUSA TENGGARA BARAT, Sumbawa, 232,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 418/Kpts-II/1999, 15 Juni 1999.
MALINO – Taman Wisata Alam
SULAWESI SELATAN, Gowa, 3.500,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 428/Kpts-II/1991, 19 Juli 1991.
MANGOLO – Taman Wisata Alam
SULAWESI TENGGARA, Kolaka, 5.200,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 142/Kpts-II/1990, 1 Januari 1990.
MANIPO – Taman Wisata Alam
NUSA TENGGARA TIMUR, Kupang, 2.499,50 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 1134/Kpts-II/1992, 28 Desember 1992.
MARSEGU, Pulau – Taman Wisata Alam Laut
MALUKU, Maluku Tengah, 11.000,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 114/Kpts-II/1999, 5 Maret 1999.
MATANO-MAHALONA, Danau – Taman Wisata Alam
SULAWESI SELATAN, Luwuk, 80.000,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 274/Kpts/Um/4/79, 24 April 1979.
MAUMERE, Teluk – Taman Wisata Alam Laut
NUSA TENGGARA TIMUR, Sikka, 59.450,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 126/Kpts-II/1987, 21 April 1987.
MEGA MENDUNG – Taman Wisata Alam
SUMATERA BARAT, Tanah Datar, 12,50 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 147/Kpts/Um/1/74, 1 Januari 1974.
MEJA, Gunung – Taman Wisata Alam
PAPUA BARAT, Manokwari, 500,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 19/Kpts/Um/1/80, 12 Januari 1980.
MELINTANG, Bukit – Taman Wisata Alam
KALIMANTAN BARAT, Sambas, 17.605,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 259/Kpts-II/2000, 23 Agustus 2000.
MOYO, Pulau – Taman Wisata Alam Laut
NUSA TENGGARA BARAT, Sumba, 6.000,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 96/Kpts-II/2001, 15 Maret 2001.
MUKA KUNING – Taman Wisata Alam
RIAU, Kota Batam, 2.065,62 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 427/ Kpts-II/1994, 26 September 1994.
NANGGALA III – Taman Wisata Alam
SULAWESI SELATAN, Luwu, 500,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 663/Kpts-II/1992, 7 Januari 1992.
PADAIDO, Kepulauan – Taman Wisata Alam Laut
PAPUA TENGAH, Biak, 183.000,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 91/Kpts-VI/1997, 13 Februari 1997.
PADAMARANG, Pulau – Taman Wisata Alam Laut
SULAWESI TENGGARA, Kolaka, 36.000,00 ha, Ke-putusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 94 Kpts-II/2003, 25 Juni 2003.
PANANJUNG PANGANDARAN – Taman Wisata Alam
JAWA BARAT, Ciamis, 37,70 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 170/Kpts/Um/3/78, 1 Maret 1978.
PANCAR, Gunung – Taman Wisata Alam
JAWA BARAT, Bogor, 447,50 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 156/Kpts-II1988, 1 Januari 1988.
PANELOKAN – Taman Wisata Alam
BALI, Bangli, 574,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 655/Kpts/Um/10/ 78, 25 Oktober 1978.
PANJANG – PULAU BAAI REG 91, Pantai – Taman Wisata Alam
BENGKULU, Kota Bengkulu, 1.265,30 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 385/Kpts-II/1985, 27 Desember 1985.
PAPANDAYAN, Gunung – Taman Wisata Alam
JAWA BARAT, Garut, 225,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 266/Kpts-II/1990, 8 Mei 1990.
PASIR PUTIH – Taman Wisata Alam
PAPUA BARAT, Manokwari, 700,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 891/Kpts-II/1999, 14 Oktober 1999.
PATENGGANG, Telaga – Taman Wisata Alam
JAWA BARAT, Bandung, 65,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 660/Kpts/Um/8/81, 1 Agustus 1981.
PELANGAN – Taman Wisata Alam
NUSA TENGGARA BARAT, Lombok Tengah, 500,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 401/Kpts-II/1990, 6 Agustus 1990.
PIEH, Kepulauan – Taman Wisata Alam Laut
SUMATERA BARAT, Padang Pariaman, 39.000,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 70/Kpts-II/2000, 28 Maret 2000.
PLEIHARI – Taman Wisata Alam
KALIMANTAN SELATAN, Pleihari, 1.500,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 695/Kpts-II/1991, 10 Oktober 1991.
POMBO, Pulau – Taman Wisata Alam Laut
MALUKU, Maluku Tengah, 998,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 392/Kpts-VI/1996, 30 Juli 1996.
PUNTI KAYU – Taman Wisata Alam
SUMATERA SELATAN, Palembang, 50,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 602/Kpts-II/1992, 7 Okttober 1992.
RIMBO PANTI – Taman Wisata Alam
SUMATERA BARAT, Pasaman, 570,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 348/Kpts/Um/1/79, 6 Januari 1979.
RUTENG – Taman Wisata Alam
NUSA TENGGARA TIMUR, Manggarai, 32.248,60 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 456/Kpts-II/1993, 24 Agustus 1993.
SANGALAKI, Pulau – Taman Wisata Alam Laut
KALIMANTAN TIMUR, Berau, 280,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 604/Kpts/Um/ 8/82, 19 Agustus 1982.
SANGEH – Taman Wisata Alam
BALI, Badung, 13,97 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 87/Kpts-II/1993, 16 Februari 1993.
SANGIANG, Pulau – Taman Wisata Alam
BANTEN, Serang, 528,15 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 523/Kpts-II/1993, 8 Februari 1993.
SARI, Bukit – Taman Wisata Alam
JAMBI, Batanghari, Bungo Tebo, 425,50 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 198/Kpts-II/2000, 12 Juli 2000.
SATONDA, Pulau – Taman Wisata Alam Laut
NUSA TANGGARA BARAT, Sumbawa Besar, 2.600,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 22/Kpts-VI/1998, 7 Januari 1998.
SELOK, Gunung – Taman Wisata Alam
JAWA TENGAH, Cilacap, 126,20 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: .399/Kpts/Um/10/75, 9 Oktober 1975.
SEMONGKAT – Taman Wisata Alam
NUSA TENGGARA BARAT, Sumbawa Besar, 100,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 418/Kpts-II/1999, 15 Juni 1999.
SERELO, Bukit – Taman Wisata Alam
SUMATERA SELATAN, Lahat, 210,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 76/Kpts-II/2001, 15 Maret 2001.
SIBOLANGIT – Taman Wisata Alam
SUMATERA UTARA, Sibolangit, 24,85 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 636/Kpts/Um/9/80, 2 September 1980.
SICIKEH-CIKEH – Taman Wisata Alam
SUMATERA UTARA, Dairi, 575,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 78/Kpts-II/1989, 7 Februari 1989
SIDRAP – Taman Wisata Alam
SULAWESI SELATAN, Sidenreng Rappang, 246,25 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 196/Kpts-II/2003, 24 Juli 2003.
SIJABA HUTAGINJANG – Taman Wisata Alam
SUMATERA UTARA, Tapanuli Utara, 500,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 592/Kpts-II/1993, 1 Januari 1993.
SORONG – Taman Wisata Alam
PAPUA BARAT, Sorong, 945,90 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 188/Kpts-II/1986, 7 Juni 1986.
SUKAWAYANA – Taman Wisata Alam
JAWA BARAT, Sukabumi, 16,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 570/Kpts-II/1991, 1 Januari 1991.
SUMBER SEMEN – Taman Wisata Alam
JAWA TENGAH, Rembang, 17,10 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 54/Kpts/Um/2/75, 1 Februari 1975.
SURANADI – Taman Wisata Alam
NUSA TENGGARA BARAT, Lombok Tengah, 52,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 99/Kpts-II/2003, 19 Maret. 2003.
TALIWANG, Danau – Taman Wisata Alam
NUSA TENGGARA BARAT, Sumbawa, 1.406,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 418/Kpts-II/1999, 15 Juni 1999.
TAMPOMAS, Gunung – Taman Wisata Alam
JAWA BARAT, Sumedang, 1.250,00 Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 423/Kpts/Um/7/79, 1 Juli 1979.
TANGKILING, Bukit – Taman Wisata Alam
KALIMANTAN TENGAH, Palangka Raya, 533,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI No.: 46/Kpts/Um/1/77, 25 Januari 1977.
TANGKUBAN PERAHU – Taman Wisata Alam
JAWA BARAT, Bandung, 370,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 528/Kpts/Um/9/74, 3 September 1974.
TANPA, Tanjung – Taman Wisata Alam
NUSA TENGGARA BARAT, Sumbawa Besar, 2.000,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 418/Kpts-II/1999, 15 Juni 1999.
TAPI-KAYU AJARAN, Lubuk – Taman Wisata Alam
BENGKULU, Bengkulu Selatan, 6,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 16/Kpts-II/2001, 30 Januari 2001.
TIKUS, Pulau – Taman Wisata Alam
BENGKULU, Bengkulu Selatan, 2,50 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 385/Kpts-II/1985, 27 Desember 1985.
TIRTA RIMBA AIR JATUH – Taman Wisata Alam
SULAWESI TENGGARA, Buton, 488,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 440/Kpts-II/1994, 5 Oktober 1994.
TOWUTI, Danau – Taman Wisata Alam
SULAWESI SELATAN, Luwuk, 65.000,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 274/Kpts/Um/4/79, 24 April 1979.
TRETES – Taman Wisata Alam
JAWA TIMUR, Pasuruan, 10,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 425/Kpts/Um/10/75, 23 Oktober 1975.
TUJUH BELAS, Pulau – Taman Wisata Alam Laut
NUSA TENGGARA TIMUR, Ngada, 9.900,00 ha, Ke-putusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 589/Kpts-II/1996, 16 September 1996.
TUNAK, Gunung – Taman Wisata Alam
NUSA TENGGARA BARAT, Sumbawa Besar, 312,02 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 439/Kpts-II/1997, 4 Agustus 1997. Tambahan kawasan seluas 624,00 ha sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 52/Kpts-II/1998, 28 Januari 1998 – jadi luas total 936,02 ha.
TUTI ADIGAE – Taman Wisata Alam
NUSA TENGGARA TIMUR, Alor, 5.000,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 396/Kpts/Um/1/81, 1 Januari 1981.
WARNA, Telaga – Taman Wisata Alam
JAWA BARAT, Bogor, 5,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 431/Kpts/Um/1/81, 1 Januari 1981.
WARNO-PENGILON, Telogo – Taman Wisata Alam
JAWA TENGAH, Wonosobo, 39,60 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 740/Kpts/Um/11/78, 30 November 1978.
WAY HAWANG REG 95 – Taman Wisata Alam
BENGKULU, Bengkulu Selatan, 94,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 385/Kpts-II/1985, 27 Desember 1985.
WEH, Pulau – Taman Wisata Alam Laut
NANGROE ACEH DARUSSALAM, Aceh Utara, 3.900,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 928/Kpts/Um/12/82, 24 Desember 1982.
WERA, Air Terjun – Taman Wisata Alam
SULAWESI TENGAH, Donggala, 250,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 843/Kpts/Um/11/1980, 25 November 1980.
YOTEFA, Teluk – Taman Wisata Alam
PAPUA TIMUR, Jayapura,1.675,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 714/Kpts-II/1996, 11 November 1996.
(ais)

SUAKA MARGASATWA

SESUAI dengan namanya, kawasan konservasi dalam bentuk suaka margasatwa (game sanctuary) ditujukan untuk memperlindungi satu atau beberapa jenis satwa tertentu, di dalam habitat aslinya. Suaka margasatwa adalah kawasan yang dibuat untuk menjaga kelestarian satwa yang berstatus terancam (threatened), langka (rare), rawan (vulnerable), dan terkikis (indeterminate). Satwa dengan status terancam dan langka pada umumnya disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain karena daerah sebarannya yang terbatas, atau hanya hidup setempat; karena tingkat reproduksi yang lambat dan rendah; variasi pakan yang terbatas dan spesifik; kemampuan adaptasi yang rendah terhadap perubahan; atau kemungkinan jenis bersangkutan bersifat monotipik. Sedangkan untuk jenis satwa yang berstatus rawan atau terkikis, umumnya disebakan oleh faktor ancaman kerusakan habitat atau eksploatasi yang terus-menerus, seperti perburuan atau pembasmian. Di luar jenis satwa yang status aman (out of danger), ternyata masih jauh lebih banyak lagi jenis satwa atau tumbuhan yang tidak dapat ditempatkan pada salah satu status tadi, karena kemungkinan jenis tersebut tidak pernah memperoleh perhatian, sehingga tidak dimiliki data konservasi sedikitpun. Jenis seperti ini dapat dikategorikan sebagai jenis yang terabaikan (inattentionable), ataupun least concerned. Suatu jenis satwa yang telah menempati status, dapat berubah statusnya ke status lain karena faktor-faktor internal maupun eksternal – dari aman menjadi terancam, langka, rawan atau terkikis, ataupun sebaliknya.

Menyimak cukup tinggi dan sangat beragamnya satwa Indonesia, baik yang menghuni daratan maupun perairan, maka memang dibutuhkan perhatian yang serius dalam rangka konservasi jenis dan habitat. Kesulitan akan dihadapi apabila jenis satwa yang membutuhkan perlindungan tersebut memiliki daerah jelajah (range) yang luas, atau karena bersifat migratoar. Beberapa jenis burung, misalnya burung perancah (wader), cukup sulit untuk dipertahankan hanya di dalam sebuah kawasan tertentu. Oleh karena itu, aspek-apek yang perlu menjadi perhatian dalam rangka pelestarian satwa seperti ini adalah dengan menjaga tempat-tempat yang digunakan untuk mencari pakan, bersarang, atau transit secara permanen setelah melakukan ruaya-jenis.

Kebanyakan satwa Indonesia yang tergolong mamalia besar, primata, burung, atau reptil saat ini mengalami kemerosotan jumlah, sehingga dibutuhkan konservasi in-situ yang memadai dalam bentuk suaka margasatwa. Namun demikian, penetapan suatu kawasan sebagai suaka tidaklah cukup, karena yang tidak kalah pentingnya adalah melindungi keberadaan suaka yang sudah ditetapkan. Banyak kawasan konservasi saat ini sudah ditetapkan, tetapi masih penuh dengan ancaman dari luar, terutama efek-tepi (marginal effects). Pembalakan, perburuan, pemboman, penjeratan dan bahkan penggunaan racun, masih dilakukan di berbagai kawasan suaka, bukan hanya di bagian tepi, tetapi sampai di area inti.

Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus), badak Sumatra (Dicerorhinus sumatrensis), harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae), macan tutul (Panthera pardus melas), macan dahan (Neofelis diardi), Bekantan (Nasalis larvatus), orangutan (Pongo pygmaeus dan Pongo abelii), Anoa (Bubalus depressicornis dan Bubalus quarlesi), babirusa (Babyrousa babyrussa), dan masih banyak lainnya, merupakan mamalia yang membutuhkan kawasan-kawasan khusus yang luas. Sementara burung, juga semakin banyak mengalami ancaman, seperti jalak Bali (Leucopsar rothschildi), tiga jenis kasuari (Casuarius sp.), kakatua hitam (Probosciger aterrimus), burung-burung cenderawasih (Paradiseidae), dan lainnya juga membutuhkan kawasan perlindungan yang memadai. Buaya-buaya dan senyulong Indonesia (Crocodilus sp. dan Tomistoma schelegelii), lebih menderita, bukan hanya persoalan habitat yang semakin langka, juga karena sumber pakan yang sudah semakin pupus.

Beberapa species satwa sudah menghuni taman nasional, cagar alam, hutan lindung, dan sebagainya, namun perlu ada perluasan kawasan-kawasan suaka pada beberapa lokasi. Seharusnya, setiap wilayah provinsi di Indonesia memiliki kawasan konservasi paling kurang 40 % dari luas total wilayahnya. Hutan lindung sebenarnya cukup baik untuk menjadi wadah perlindungan, tetapi hutan lindung bukan untuk konservasi genetika, melainkan untuk pelestarian fungsi-fungsi ekologis yang mengarah pada sistem hidro-orologis, mikroklimasi, kesuburan tanah, pencegahan longsor dan banjir, cadangan air, dan sebagainya. Karena itu, hutan lindung tidak memokus pada kekayaan jenis yang ada, sebab biarpun hanya 10-20 jenis tumbuhan yang ada di dalamnya, dan satwanya ada atau tidak ada, apabila formasinya sudah permanen, maka dapat ditetapkan sebagai hutan lindung.

Dalam rangka mendukung pelestarian satwa di Indonesia, sampai dengan tahun 2008, baru ditetapkan suaka margasatwa sebanyak 73 lokasi dengan luas total 5.422.922,79 hektar.

DAFTAR SUAKA MARGASATWA YANG TELAH DITETAPKAN DI NDONESIA:

ALE ASISIO – Suaka Margasatwa
NUSA TENGGARA TIMUR, Timor Tengah Selatan, 5.918,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 423/Kpts-II/1999, 15 Juni 1999.
AMOLENGO, Tanjung – Suaka Margasatwa
SULAWESI TENGGARA, Kendari, 605,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 95/Kpts-II/1999, 2 Maret 1999.
ANGKE, Muara – Suaka Margasatwa
DKI JAKARTA, Jakarta Utara, 25,02 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 097/Kpts-II/1988, 29 Februari 1988.
ANGROMEOS – Suaka Margasatwa
PAPUA TENGAH, Paniai, 2.086,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 891/Kpts-II/1999, 14 Oktober 1999.
BAKIRIANG – Suaka Margasatwa
SULAWESI TENGAH, Banggai, 12.500,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 398/Kpts-II/1998,21 April 1998.
BALAI RAJA – Suaka Margasatwa
RIAU, Bengkalis, 18.000,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 173/Kpts-II/1986, 6 Juni 1986.
BARUMUN – Suaka Margasatwa
SUMATERA UTARA, Tapanuli Tengah, 40.330,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 70/Kpts-II/1989, 2 Juni 1989.
BATIKOLO, Tanjung – Suaka Margasatwa
SULAWESI TENGGARA, Kendari, 4.016,00 ha, Kepututusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 425/Kpts-II/1995, 16 Agustus 1995.
BATU, Bukit – Suaka Margasatwa
RIAU, Bengkalis, 21.500,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 482/Kpts-II/1999, 29 Juni 1999.
BAUN, Pulau – Suaka Margasatwa
MALUKU, Maluku Tenggara, 13.000,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 711/Kpts/Um/11/74, 25 November 1974.
BAWEAN – Suaka Margasatwa
JAWA TIMUR, Surabaya, 3.831,60 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 762/Kpts/Um/5/79, 12 Mei 1979.
BELAT, Tasik – Suaka Margasatwa
RIAU, Bengkalis, 2.529,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 480/Kpts-II/1999, 29 Juni 1999.
BENTAYAN – Suaka Margasatwa
SUMATERA SELATAN, Banyuasin, 19.300,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 276/Kpts/Um/4/81, 6 April 1981.
BESAR–BAWAH, Danau Pulau – Suaka Margasatwa
RIAU, Bengkalis, 28.237.95,00 ha, Keputusan Men-hutbun Nomor: 668/Kpts-II/1999, 26 Agustus 1999.
BESAR–METAS, Tasik – Suaka Margasatwa
RIAU, Indragiri Hilir, 3.200,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 173/Kpts-II/1986, 6 Juni 1986
BUTON UTARA – Suaka Margasatwa
SULAWESI TENGGARA, Muna, 82.000,00 Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 782/Kpts/Um/12/79, 17 Desember 1979.
CIKEPUH – Suaka Margasatwa
JAWA BARAT, Sukabumi, 8.127,50 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 532/Kpts/Um/10/73, 20 Oktober 1973.
DANGKU – Suaka Margasatwa
SUMATERA SELATAN, Musi Banyuasin, 70.274,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 755/Kpts-II/1990, 17 Februari 1990. Tambahan kawasan seluas 31.752,00 ha sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 76/Kpts-II/2001, 15 Maret 2001 – jadi luas total 102.326,00 ha.
DOLANGAN – Suaka Margasatwa
SULAWESI TENGAH, Buol Toli-Toli, 462,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 441/Kpts/Um/5/81, 21 Mei 1981.
DOLOK, Pulau – Suaka Margasatwa
PAPUA TIMUR, Merauke, 664.627,97 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 305/Kpts-II/1998, 27 Februari 1998.
FOJA – Suaka Margasatwa
PAPUA TIMUR, Jayapura, 1.018.000,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 782/Kpts/ Um/10/1982, 21 Oktober 1982. Tambahan kawasan seluas 1.000.000,00 ha sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 820/Kpts/Um/11/82, 10 November 1982 – jadi luas total 2.018.000,00 ha.
GAJAH, Pusat Pelatihan – Suaka Margasatwa
RIAU, Bengkalis, 5.000,00 ha, Keputusan Gubernur Riau Nomor: 387/VI1992, 26 Juni 1992.
GIAM SIAK KECIL – Suaka Margasatwa
RIAU, Bengkalis, 50.000,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 173/ Kpts-II/1986, 6 Juni 1986.
GUMAI PASEMAH – Suaka Margasatwa
SUMATERA SELATAN, Lahat, 45.883,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 408/Kpts/Um/6/76, 30 Juni 1976.
HARLU – Suaka Margasatwa
NUSA TENGGARA TIMUR, Kupang, 2.000,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 84/Kpts-II/1993,16 Februari 1993.
ISAU-ISAU PASEMAH – Suaka Margasatwa
SUMATERA SELATAN, Lahat, Liot, 12.144,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 69/Kpts/Um/2/78, 7 Februari 1978.
JAMURSBA MEDI – Suaka Margasatwa Laut
PAPUA BARAT, Manokwari, 278,25 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI No-mor : 891/Kpts-II/1999, 14 Oktober 1999.
JAYA WIJAYA – Suaka Margasatwa
PAPUA TIMUR, Jayawijaya, 800.000,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 914/ Kpts/Um/10/81, 30 Oktober 1981.
KAGET, Pulau – Suaka Margasatwa
KALIMANTAN SELATAN, Barito Kuala, 85,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor:337/Kpts-II/1999, 27 September 1999.
KARAKELANG UTARA-SELATAN – Suaka Margasatwa
SULAWESI UTARA, Sangihe Talaud, 24.669,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 97/Kpts-II/2000, 22 Desember 2000.
KARANGGADING-LANGKAT TIMUR LAUT – Suaka Margasatwa
SUMATERA UTARA, Langkat, Deli Serdang, 15.765,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 811/Kpts/Um/11/80, 5 November 1980.
KASSA, Pulau – Suaka Margasatwa Laut
MALUKU, Maluku Tengah, 2.000,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 653/Kpts/Um/10/78, 25 April 1978.
KATERI – Suaka Margasatwa
NUSA TENGGARA TIMUR, Belu, 4.560,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 394/Kpts/Um/5/81, 5 Juli 1981.
KERUMUTAN – Suaka Margasatwa
RIAU, Kampar, Indragiri Hulu, 120.000,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 350/Kpts/Um/6/79, 14 Maret 1979.
KOBROR, Pulau – Suaka Margasatwa
MALUKU, Maluku Tenggara, 61.657,75 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 415/Kpts-II/1999, 15 Juni 1999.
KOMARA – Suaka Margasatwa
SULAWESI SELATAN, Takalar, 3.390,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 147/Kpts-II/1987,19 Februari 1987.
KOMOLON – Suaka Margasatwa
PAPUA TIMUR, Merauke, 84.130,40 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 820/Kpts/Um/11/82, 10 November 1982.
LAMANDAU – Suaka Margasatwa
KALIMANTAN TENGAH, Kotawaringin Barat, 76.110,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 162/Kpts-II/1998, 26 Februari 1998.
LAMBUSANGO – Suaka Margasatwa
SULAWESI TENGGARA, Buton, 28.510,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 639/Kpts/Um/9/82, 1 September 1982
LAMPOKO-MAMPIE – Suaka Margasatwa
SULAWESI BARAT, Polewali Mandar, 2.000,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 699/Kpts/Um/11/78, 13 November 1978.
LOMBUYAN I/II – Suaka Margasatwa
SULAWESI TENGAH, Banggai, 3.069,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 124/Kpts-II/1999, 5 Maret 1999.
LUPAK-NUSA GEDE PANJALU, Kuala – Suaka Margasatwa
KALIMANTAN SELATAN, Barito Kuala, 3.375,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 453/Kpts-II/1999, 17 Juni 1999.
MANEMBO-NEMBO, Gunung – Suaka Margasatwa
SULAWESI UTARA, Minahasa, 6.500,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 441/Kpts/Um/7/78, 16 Juli 1978.
MANUK, Pulau – Suaka Margasatwa
MALUKU, Maluku Tengah, 100,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 444/Kpts/Um/5/81, 25 Mei 1981.
MATOP-PINJAM, Tanjung – Suaka Margasatwa
SULAWESI TENGAH, Buol Toli-toli, 1.612,50 ha, Kepu-tusan Menteri Pertanian RI Nomor: 445/Kpts/Um/5/81, 21 Mei 1981.
MUBRANI-SIDEI-WIBAIN I/II, Tanjung – Suaka Margasatwa
PAPUA BARAT, Manokwari, 9.142,63 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 891/Kpts-II/1999, 14 Oktober 1999.
NANTU – Suaka Margasatwa
GORONTALO, Gorontalo, Nantu, 31.215,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 573/Kpts-II/1999, 22 Juli 1999.
PADANG, Tasik Tanjung – Suaka Margasatwa
RIAU, Bengkalis, 4.925,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 349/Kpts-II/1999, 26 Mei 1999.
PAGAI SELATAN – Suaka Margasatwa
SUMATERA BARAT, Pesisir Selatan (Kepulauan Mentawai), 4.000,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 422/Kpts-II/1999, 15 Juni 1999.
PALIYAN – Suaka Margasatwa
DI YOGYAKARTA, Gunung Kidul, 615,60 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 171/Kpts-II/2000, 20 Desember 2000.
PATI-PATI – Suaka Margasatwa
SULAWESI TENGAH, Banggai, 3.103,79 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 239/Kpts-II/1999, 27 April 1999.
PEROPA, Tanjung – Suaka Margasatwa
SULAWESI TENGGARA, Kendari, 38.937,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 393/Kpts-II/1986, 23 Desember 1986.
PLEIHARI-TANAH LAUT – Suaka Margasatwa
KALIMANTAN SELATAN, Tanah Laut, 6.000,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 695/Kpts-II/1991, 10 November 1991.
RAJA AMPAT, Kepulauan – Suaka Margasatwa Laut
PAPUA BARAT, Fakfak, 60.000,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 81/Kpts-II/1993, 16 Februari 1993.
RAMBUT, Pulau – Suaka Margasatwa
DKI JAKARTA, Jakarta Utara, 90,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 275/Kpts-II/1999, 7 Mei 1999.
RAYA, Gunung – Suaka Margasatwa
SUMATERA SELATAN, Ogan Komering Ulu, 39.500,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 55/Kpts/Um/2/78, 7 Februari 1978.
RIMBANG-BALING, Bukit – Suaka Margasatwa
RIAU, Kampar, 136.000,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 173/Kpts-II/1986, 6 Juni 1986
SABUDA TATARUGA – Suaka Margasatwa Laut
PAPUA BARAT, Fakfak, 5.000,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 82/Kpts-II/1993, 16 Februari 1993.
SANTIGI – Suaka Margasatwa
SULAWESI TENGAH, Donggala, 1.131,25 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 50/Kpts-VII/1987, 25 Februari 1987.
SAWAL, Gunung – Suaka Margasatwa
JAWA BARAT, Ciamis, 5.400,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 420/Kpts/Um/6/79, 4 Juni 1979.
SEMAMA, Pulau – Suaka Margasatwa
KALIMANTAN TIMUR, Berau, 220,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 604/Kpts/Um/8/82, 19 Agusutus 1982.
SENDANGKERTA – Suaka Margasatwa
JAWA BARAT, Tasikmalaya, 90,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI.Nomor: 6964/Kpts-II/2002, 17 Januari 2002.
SERKAP-SARANG BURUNG, Tasik – Suaka Margasatwa
RIAU, Indragiri Hilir (Pelalawan), 6.900,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 173/Kpts-II/1986, 6 Juni 1986.
SINGKIL, Rawa – Suaka Margasatwa
NANGROE ACEH DARUSSALAM, Aceh Selatan, 102.500,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 166/Kpts-II/1998, 26 Februari 1998.
SIRANGGAS – Suaka Margasatwa
SUMATERA UTARA, Tapanuli Tengah, 5.657,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 70/Kpts-II/1989, 2 Juni 1989.
SUGIHAN, Padang – Suaka Margasatwa
SUMATERA SELATAN, Musi Banyuasin, 75.000,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 004/Kpts-II/1983, 19 April 1983.
SURUNGAN, Dolok – Suaka Margasatwa
SUMATERA UTARA, Tapanuli Utara, 23.800,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 43/Kpts/Um/2/74, 2 Februari 1974.
TAMBORAN SELATAN – Suaka Margasatwa
NUSA TENGGAR BARAT, Dompu, 21.674,68 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 418/Kpts-II/1999,15 Juni 1999.
TANIMBAR – Suaka Margasatwa
MALUKU, Maluku Tenggara, 65.671,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 249/Kpts-II/1985, 11 September 1985.
TUADALE, Danau – Suaka Margasatwa
NUSA TENGGARA TIMUR, Kupang, 500,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 195/Kpts-II/1993 27 Februari 1993.
TUNGGANGAN, Gunung – Suaka Margasatwa
JAWA TENGAH, Sragen, 103,90 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 435/Kpts-II/1999, 15 Juni 1999.
VENU, Pulau – Suaka Margasatwa
PAPUA BARAT, Fakfak, 16.320,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 891/Kpts-II/1999, 14 Oktober 1999.
YANG, Dataran Tinggi – Suaka Margasatwa
JAWA TIMUR, Jember, Probolinggo, 14.145,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 417/Kpts-II/1999, 15 Juni 1999.
(ais)